Plakk 

Tamparan keras mendarat di pipinya, dulu tamparan itu begitu sakit, begitu panas dan membuat pipinya terasa terbakar. Tapi saat ini dia sudah merasa kebal akan rasa sakit itu, sakitnya lebih di dadanya, bagaimana lelaki yang selalu lembut padanya melakukan hal sekasar itu.

"Aku ingin cerai." Ucap Sakura lirih, karena suaranya saat itu benar-benar tenggelam dalam tangis yang meledak. 

"Sasuke apa yang kau lakukan?" Mikoto sedari tadi diam karena dia merasa tidak berhak ikut campur dalam urusan rumah tangga mereka, tapi dia pikir saat itu anaknya sudah sangat keterlaluan. 

"Baiklah jika itu maumu! Nikmatilah waktumu beberapa hari ini untuk bersama Sarada setelahnya aku tidak akan pernah membiarkanmu menyentuhnya. " Sasuke pergi menghilang di persimpangan lorong. Ucapan itu bukan hanya sekedar ancaman untuk Sakura, dia benar-benar kehilangan anaknya. 

Seharusnya dia tau kalau Sasuke akan melakukan segala cara untuk mendapatkan hak asuhnya, lelaki itu begitu mencintai Sarada. Dia akan melakukan apapun untuk Sarada, termasuk menceraikannya. Bukan berarti dia cemburu, justru dia senang karena memiliki suami yang begitu menyayangi anaknya tanpa terlihat kesan memanjakan. Sasuke adalah suami idaman setiap wanita, jika saja dia punya lebih banyak waktu untuk keluarganya. 

"Sakura ku mohon tarik ucapanmu itu nak, kasihan Sarada dia masih begitu kecil."

"Maaf ibu aku merasa tidak lagi cocok dengan Sasuke, aku tidak lagi mengenalinya semenjak ayahnya meninggal. Dia tidak mencintaiku lagi."

"Oh Tuhan, dia masih sangat mencintaimu nak, maafkan sikap kasarnya tadi, mungkin dia capek dan dia hanya khawatir pada anaknya, kau bisa menghampirinya sekarang dan peluk dia, minta maaflah semua akan baik-baik saja."

"Aku tidak bisa ibu, aku tidak mau bersamanya lagi. Dan aku juga akan berjuang untuk Sarada. "

"Sakura, tunggu Sakura" Panggilan itu terus menggetarkan gendang telinganya, sampai dia menemukan dirinya sendiri sedang duduk di tangga darurat rumah sakit menangis meraung, mengucapkan kata maaf berulang-ulang sambil mengusap lembut pipinya yang memerah. Suara panggilan itu masih terus terdengar, bahkan lama kelamaan suaranya berubah menjadi lebih berat dan_

"Sakura!" 

Dia tersentak dan mendapati dirinya di ruang istirahat dokter, ruangan itu sudah terlihat terang dan kosong. Padahal sebelumnya dia harus meraba-raba dan mengendap-endap untuk memasuki ruang itu dan merebahkan diri di ranjang yang kosong, tidak ingin mengganggu tidur dokter lain, yang mungkin lebih kelelahan dari pada dirinya. 

"Kau baik-baik saja?" 

"Ya, hanya mimpi buruk." Sakura menerima pelukan lelaki itu, setidaknya pelukan itu selalu membuatnya lebih tenang walau tidak bisa menghilangkan mimpi buruknya. "Terima kasih Sasori."

"Ayo pulang. Kau kosong kan hari ini?" Ucap Sasori sambil membantunya berdiri. 

"Ya aku akan mengganti pakaianku dulu." Sakura beranjak dan menuju ruang ganti. 

"Hei" Ino sedang mengganti pakaiannya dengan pakaian hijau. 

"Ada operasi? "

"Ya, hanya usus buntu. Mau pulang?" Ucap Ino sambil mengikat tali di bahu kirinya. Sakura hanya mengangguk untuk menanggapi itu. "Jadi kapan kalian akan menikah?"

"Oh ayolah kami baru satu bulan bersama. Lagi pula aku masih tidak yakin untuk hal itu."

"Dia mengejarmu sudah lebih dari 15 tahun Sakura. Pikirkan, apakah dia akan seperti mantan suamimu, aku rasa tidak." Ino menutup kembali lokernya dan melewati Sakura yang masih sibuk dengan bajunya. "Lagi pula apa kau tidak ingin ada yang menemani di ranjang, tidak perlu berbohong untuk kebutuhan itu. Dah sampai bertemu besok." 

Comeback [SasuSaku Fanfiction] CompletedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang