Wattpad Original
There are 15 more free parts

Bab 3

51.9K 4.6K 135
                                    

Maba itu salah kalo enggak nurut senior, tapi lebih salah lagi kalo terlalu baek.

mahasiswa semester 2—

UAS telah berakhir, waktunya mendesah lega. enggak ada lagi begadang karena metode SKS. enggak ada lagi lengan bertato rumus dan catatan 'dewa'. Yang paling penting, kegesitan berebut kursi ujian telah usai. Jiwaku kembali pada kebebasan rohani sepenuhnya. Urusan nilai kuanggap urusan nanti.

"Waktunya jelajah mol!" Pipit berseru lebay, menarik atensi sekelompok senior cewek yang duduk di ujung koridor.

Aku bergegas menarik lengan Pipit, menjauhi kelompok itu. Semester satu belum sepenuhnya selesai, jangan sampai kami mendapat perhatian dalam konteks negatif dari angkatan atas. Aku memilih hidup antara ada dan tiada di sini. Tapi Pipit punya potensi berbeda. Bodinya bohay dengan dada menantang dan kepribadiannya supel, dua ciri yang rentan kena tatapan sinis senior. Beruntungnya, kami belum pernah kena labrak. Aku ingin sujud syukur kalau sampai semester tujuh enggak bermasalah dengan senior.

"Pit! Yel!" Tita, sahabat kami dari jurusan akuntansi, melambai sambil membelah keramaian koridor.

Oh, bagus. Ketika satu penarik atensi berhasil aku hentikan, datang biang rusuh yang lain. Aku ingin kehidupan kampus yang biasaaaaa aja!

"Mau ke Senci?" tanya Tita antusias.

Mata Pipit lantas berbinar. "Mau dong. Nonton apa makan? Belanja gimana? Gue butuh sepatu baru."

"Sama. Gue juga butuh sepatu baru. Sekalian make up."

Tita dan Pipit selalu kompak soal urusan mempercantik diri dan membuang waktu di mol. Kalau mereka buat keputusan, aku jadi tim hore yang ditarik tangannya ke sana ke mari. Penampilanku pun kontras dengan Tita dan Pipit yang fashionista. Boro-boro mikirin fashion, aku hanya mentok pakai kemeja dan jeans baggy yang dipadankan dengan sneakers.

"Lo beli masker mentimun. Bagus buat kulit. Asli Korea loh." Tita berbicara padaku saat kami sedang berada di toko kecantikan asal negaranya Jeno NCT.

"Maskernya tinggal dioles di muka. Jangan lo campur air hangat terus diminum, bisa mampus nasib Tita diduga tersangka kematian lo," canda Pipit.

"Belatung banget omongan lo." Tita mendelik. Dia suka menganalogikan something yucky ke belatung karena dia enggak suka sama binatang itu.

"Gue kan takut Yellow salah pakai masker pilihan lo." Pipit memang lihai nyinyir. "Dia aja masih belum paham penggunaan sisir itu buat rambut, bukan pajangan dekat cermin."

"Makasih atas perhatian Anda," desisku dongkol. Kami jadi bahan tontonan diam-diam para penjaga toko. Emang kumpul sama mereka selalu bikin nasibku jadi bahan olok-olokan.

"Lo udah dengar kabar Kara dan Ken putus?" Tita memulai gosip sembari mengisi keranjang belanjanya dengan sebotol lotion.

"Udah dan gue masih enggak percaya mereka putus. The best couple made from heaven loh. Gue gemas banget tahu mereka putus. Lo tahu apa penyebabnya?" Pipit mengutarakan kekesalannya tanpa jeda dan penuh emosi.

"Enggak jelas. Katanya, Kara juga enggak cerita alasan mereka putus. Tapi ada dugaan Ken selingkuh." Tita menurunkan volume suaranya di akhir kalimat. Aku mencibir tingkah Tita, seolah ada pengunjung lain toko ini yang akan mencuri informasinya.

"Enggak mungkin Ken selingkuh. Dia itu bucin sama Kara. Matanya enggak bohong. Gue lihat kok," sanggah Pipit yang ketahuan masuk kubu hashtag always Ken.

"Kan masih katanya." Tita enggak ambil pusing bantahan Pipit dan makin banyak mengisi keranjang. "Gue cuma sayang sama hubungan mereka aja. Katanya, Ken dan Kara selalu menyamakan jadwal kuliah mereka sampai bisa atur persiapan skripsi barengan. Katanya, next semester Ken dan Kara akan lulus bareng."

Ada berapa banyak 'katanya' dari mulut Tita? Asli lambe turah banget. Aku menggeleng dan mengambil parfum bergambar potongan buah limau. Pasti aromanya asam gitu, pikirku.

Tita dengan seenaknya merebut botol parfum di tanganku lalu dimasukan ke keranjangnya. "Ken sempat enggak ambil SKS full di semester kedua dan ketiga, tapi dia penuhi SKS-nya di semester berikutnya biar sama kayak Kara. Pikir deh, betapa besar usaha Ken buat nyamain Kara dan gimana Kara sayang sama Ken. Gue sedih mereka putus," oceh Tita lagi.

"Masih bisa balikan," cetusku enteng. Pipit dan Tita menatapku dengan mata membelalak. Apa yang salah coba? Aku hanya mengungkap kemungkinan yang berlaku dalam setiap hubungan.

"Lo aromantis banget," tuding Pipit, masih sama seperti beberapa hari lalu. "Sekalipun mereka balikan, ada luka yang membuat hubungan mereka enggak sama lagi."

"Apalagi Kara itu cewek lembut, dia pasti sekarang lagi hancur menghadapi perpisahan mereka," tambah Tita, seolah dia cukup dekat untuk membuat spekulasi begitu.

Gini nih manfaat sering jelajah akun Instagram gosip, kemampuan halu meningkat dan jiwa drama meruncing. Kalau mereka lihat mata Kara berkaca-kaca, bisa jadi mereka yang maju duluan buat hajar Ken dan adain demo minta Ken dikeluarkan dari kampus. Aku nyerah, enggak sanggup menyamai tingkat pemikiran mereka.

Acara belanja mereka berakhir sukses. Satu tangan Tita dan Pipit menenteng sekitar lima kantong belanjaan, sementara tangan lain menggenggam gelas kopi. Aku sudah menjepret OOTD mereka saat belanja. Dipaksa, lebih tepatnya. Senyum mereka juga tampak puas setelah dapat banyak like di sosmed.

Aku tengah menyedot minuman cokelatku saat Pipit menyerukan nama senior yang tadi kami gosipkan. "Itu Kara!"

"Hai, Kak Kara," sapa Tita luar biasa manis.

Kara melambai, lalu menghampiri kami bersama Lyn—teman seangkatan Kara.

"Hai. Kalian juga ke sini habis UAS?" Kara menyapa balik dengan senyum manis.

"Iya, Kak. Tadi kita belanja. Kakak gimana kabarnya?" Pipit bertanya penuh perhatian.

Kara dan Lyn saling lirik, lalu Kara tersenyum dan berkata, "aku udah mengajukan proposal skripsi. Everything goes well. Judul skripsiku diterima."

"Puji syukur. Kak Kara sebentar lagi mau lulus. Pasti kampus sepi kalo Kak Kara ...." Tita menoleh pada Lyn. "Dan Kak Lyn enggak ada di kampus."

Wuhuu, aku ingin sekali bersiul. Tita dan Pipit lihai mencari perhatian senior. Aku mana sanggup. Berdiri dekat mereka dan menjadi anggota pasif di lingkaran ini saja sudah membuatku keringat dingin.

"Enggak usah sok peduli. Kita enggak akrab banget. Lo semua enggak akan merasa apa pun kalo kita lulus." Serangan sinis Lyn menghentak kami bertiga.

Kara menarik siku Lyn dan membisikan sesuatu, tapi Lyn malah menyentak pegangan Kara. Lyn menatap kami enggak suka, lalu berjalan. Saat dia melewatiku, dia berkata, "Lo kena angin topan? Rambut lo malu-maluin."

"Maaf. Suasana hati Lyn kurang bagus. Maaf ya. Kami duluan." Kara menyusul Lyn kemudian.

"Senior songong," gumam Pipit.

Aku meraba rambutku sembari menatap punggung dua senior yang bergerak menjauh itu. Apa segitu malu-maluinnya?

Tita mendorong gelas kopinya padaku. Dia menggunakan tangannya yang bebas untuk merogoh salah satu kantong belanjaan. "Jangan pernah mengizinkan orang nyebut lo malu-maluin. Nih."

Aku bingung. Tita memberikanku botol parfum bergambar potongan limau. Aku enggak mungkin berkata jujur pada Tita bahwa sebotol parfum enggak akan membuat pandangan orang berubah terhadapku. Aku enggak perlu pengakuan orang lain untuk eksistensiku karena mengikuti standar mereka. Tapi pendapatku akan menyakiti kebaikan Tita.

"Makasih," ujarku akhirnya.

Tita tersenyum. "Lyn sakit jiwa karena ngatain lo malu-maluin."

"Lo enggak malu-maluin. Cuma berantakan dikit. Wajar lah. Lebay tuh cewek. PMS kali." Pipit menimpali.

Mau enggak mau aku tersenyum. Dua orang yang sering ribet mengurusi kerapian penampilanku mendadak menepis tuduhan Lyn. Kan, gemesin banget sikap manis mereka.

TWIRLINGWhere stories live. Discover now