'Rahasia yang terungkap'

12.7K 664 72
                                    

(Sayang, nanti siang Mas Haikal mau survey rumahmu, tolong kamu temani, ya. Aku ada meeting dadakan, kemungkinan pulang malam.)

Sebuah pesan Wattshap dari Mas Abi, suamiku.

(Iya, Mas. Tapi ... aku takut jadi fitnah, Mas.)

(Enggak, sayang. Haikal berdua dengan sekretaris nya, Mba Nina.)

(Oke. Kamu hati-hati ya, Mas)

(Iya, sayang. Miss you ....)

'Ah ... Mas Abi, maafkan aku, aku belum bisa membalas kalimat itu.
Meski aku selalu berusaha, tapi nama Devan tak mau pergi dari hati ini, maafkan istrimu yang telah durhaka ini, Mas.'

Kusimpan ponselku ke dalam tas kecil kesayangan.
Ya, tas ini pemberian dari Devan saat kita berbulan madu di Bali, masih teringat jelas momentum romantisnya saat ia memberiku hadiah, Oh Tuhan ... mengapa kau pisahkan kami ...?

Krining-krining ...!

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh, Mbak Nabil?"

"Iya, ada apa, Mas?"

"Mbak, saya sebentar lagi sampai ke tempat Mbak, saya akan menyurvei rumah yang Mbak jual,"

"Lho, Mas. Suami saya barusan telpon, katanya nanti siang?"

"Maaf, Mbak. Saya rubah jadwalnya, gimana, Mbak? Bisa?"

"Bisa, bisa, yasudah, saya tunggu."

"Oke, sampai nanti. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh,"

Kututup panggilan ponselku dan bergegas pergi ke kamar untuk bersiap.

"Mau kemana, Mbak Nabil? Baru aja Bibi buatkan susu hangat buat Mbak," tanya Bi Inah, sembari menghampiriku dengan nampan berisikan susu dan cemilan ringan.

"Aduh, maaf, Bi. Saya mau pergi. Mas Haikal sebentar lagi jemput."

"Lho, Mbak akan pergi berdua dengan Mas Haikal? Piye toh?"

"Ckckck, enggaklah, Bi. Kami pergi bertiga, mungkin berempat, dengan sopirnya Mas Haikal. Beliau mau survey rumah,"

"Oooooh ... Iyo, hati-hati yo, Mbak. Apa benar ... rumah itu akan Mbak jual?" tanya Bi Inah, terdengar sedikit lirih.

"Habis ... mau bagaimana lagi, Bi? Pemiliknya pun tak kunjung pulang.
Ditambah ... Aisy ingin membangun panti asuhan, jadi ya ... lebih baik saya jual saja, semoga menjadi barokah pada pembelinya."

"Iyo ya, Mbak. Sebetulnya ... Bibi sangat sedih,"

"Kenapa, Bi?"

"Rumah itu ... terlalu bersejarah buat Bibi, banyak tawa bahagia di sana."

Aku menghela nafas dalam-dalam.

"Sudahlah, Bi. Kita harus menerima kenyataan.
Allah punya rencana besar dibalik ini semua.
Bibi doakan saja, semoga Devan ditempatkan dengan orang-orang yang Soleh dan Solehah di Syurga Allah, aamiin."

'Maaf, Bi. Aku harus terlihat tegar di hadapanmu. Padahal sebenarnya ... hati ini belum seratus persen yakin jika Devan benar-benar telah tiada.
Aku merasa ... ia selalu ada di sampingku, memperhatikanku, dan menjagaku seperti biasanya,'

Tin! Tin!

"Bi, Devan sudah jemput, aku berangkat dulu, ya."

"Lho, Mbak? Mas Devan?"

"Eh? Enggak, Bi. Maksudku ... Mas Haikal, bukan Devan. Maaf, Bi."

Bi Inah tersenyum, seraya berbisik.

Pacaran setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang