Perjodohan

74.4K 1.9K 24
                                    


Bagian 1.
Pov: Nabilah

"Saya terima nikahnya Nabilah Izma Rafifatul Rifdha binti Maliq dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai"

"Bagaimana, saksi? Sah?"

"Sah"

"Saaaaaaaahhhhhh..."

"Alhamdulillahirobbil'Alamin.."

Ucap syukur kepala KUA, Pak Basuki yang telah menikahkanku dengan Devan. Dilanjutkan do'a dan resepsi bersama sanak saudara dan para tamu undangan yg hadir di pernikahan kami.

Seperti mimpi, pernikahan ini terjadi tidak berdasarkan dengan cinta dan hawa nafsu. Ya, kami dijodohkan. Orang Tuaku dengan Orang Tua Devan ternyata sahabat karib saat masih sekolah. Mereka dipertemukan kembali 1 bulan sebelum pernikahan ini berlangsung.

Aku bahagia, karena aku telah mengabulkan permintaan mendiang Ibuku yang sudah sakit parah. Beliau terus-terusan memintaku untuk menikah dini, agar Ibu dapat menyaksikan hari kebahagiaan ini sebelum akhirnya berpulang kembali kepada Allah. Sedih memang, jika membayangkan suatu hari nanti Ibu dipanggil Allah terlebih dulu. Aku belum bisa membahagiakan Ibu dengan kesuksesanku.
Mungkin jika ini salah satunya cara agar Ibu bahagia, aku ikhlas..
*

1 Minggu yang lalu ....

"Mohon maaf, Om. Tante. Boleh saya bicara sebentar dengan Devan, di teras luar?" Tanyaku memotong pembicaraan Orang Tua Devan dan Orang Tuaku saat acara lamaran pernikahan kami.

"Ya, ya. Boleh boleh, silakan Nak Nabil. Dev, ikut ke depan dengan Nabil, ya!" Jawab Om Surya, calon mertuaku.

"Baik, Pah." Devan mengangguk dan membuntutiku ke teras rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari ruang tamu, tempat keluarga kami berbicara.

"Maaf, Devan. Apa kamu menyetujui perjodohan ini?" Tanyaku memulai sambil menundukkan pandangan.

"Ya, saya setuju. Kenapa Nabil?"

"Apa alasannya?"

"Saya anak semata wayang, dan saya ingin membahagiakan Orang Tua saya."

"Kau punya pacar?"

"Punya"

"Lalu?"

"Akan ku putuskan nanti jika kau benar-benar telah menjadi istri saya, dan kita saling mencintai."

Dadaku berdegup kencang mendengar jawaban itu. Aku takut. Aku sangat takut jika kelak Devan tidak bisa mencintaiku. Lelaki milenial, pebisnis muda yang sukses, pasti kriteria istrinya sangat tinggi. Sedangkan aku? Aku hanya seorang mahasiswi yang sedang berjuang di detik-detik menuju persidangan. Huft..!

"Lalu, apa hak yang akan kau berikan kepadaku ketika nanti kita telah menikah?" Tanyaku kembali.

"Hak sebagai seorang muslimah. Saya tidak akan menyuruhmu membuka jilbab dan cadarmu di depan saya, meski nanti kita telah menjadi suami istri. Saya sudah persiapkan rumah untuk kita tinggal dengan 4 kamar tidur, silakan kamu pilih sendiri mana kamarmu."

"Maksudmu.. kita tidur terpisah? Bukankah seorang muslimah harus melayani suaminya dengan baik?" Sengaja ku tanyakan hal ini lebih awal, karena sesungguhnya aku pun belum siap.

"Ya, memang. Tetapi saya tidak ingin itu terjadi jika dengan keterpaksaan. Biarkan cinta itu muncul dengan sendirinya. Saya tidak akan menuntutmu. Saya ingin kamu nyaman hidup dengan saya. Biar semuanya mengalir apa adanya, Nabil."

"Terimakasih, Devan."

"Sama-sama. Ada pertanyaan lagi? Jika tidak, ayo kembali ke ruang tamu. Sepertinya Orang tua kita sudah mendapatkan tanggal pernikahan kita".

Aku mengangguk, dan beranjak pergi mendahului Devan.

Di ruang tamu ....

"Nak Devan, Ibu sudah memutuskan tanggal pernikahan kalian 29 Juni ini, gimana?" Ibu memilihkan tanggal pernikahanku bersamaan dengan tanggal kelahiran ku.

"Baik, Tante. Devan ikut Mama Papa saja". Lelaki tampan dan tegap itu tersenyum, nampak aura lelaki penyayang keluarga terpancar dari wajahnya.

"Baiklah, Maliq. Saya kira cukup untuk sekarang. Terimakasih sudah menerima lamaran anak saya, untuk perihal gedung, catering, dan yang lainnya akan saya kabarkan besok. Kami pamit pulang dulu".

"Ya, sama-sama Surya. Saya sangat bahagia sekali akan berbesanan dengan keluargamu. Satu kehormatan untuk saya. Terimakasih".
Ayah berjabat tangan dan saling berpelukan dengan Om Surya. Mereka memang terlihat sangat akrab sekali.

Keluarga Devanpun akhirnya pulang.

**

Aku masih enggan melepaskan mukenaku selepas sholat istikharah, meminta petunjuk kepada Allah, agar tak ada kekeliruan dalam keputusanku ini.
Kubiarkan mukena ini masih menempel di badan.
Aku memilih merebahkan tubuhku di kasur dan menatap langit-langit kamar.
Sekilas bayangan Devan memakai seragam putih abu melintas di memori otakku.

"Kamu orang baik, Devan. Benar-benar baik. Dari dulu hingga sekarang tak ada yang berubah. Ketua OSIS yang humble, pintar, santun, tegas, sampai-sampai kamu memiliki banyak fans perempuan. Kamu pasti belum sadar kalau dulu kita satu sekolah, satu organisasi, bahkan aku sering kau marahi saat aku lupa menyimpan berkas hasil rapat OSIS. Hihihi"

Aku tertawa kecil, membayangkan ekspresi Devan nanti saat aku membuka cadar di depan dia, wanita yang ia nikahi ternyata ialah sekretaris OSIS yang ceroboh itu.
Ahhh sudahlah.
Ku serahkan semuanya kepada Allah.
Biarlah Allah yang tau jungkir balik prosesku menuju hijrah hingga seperti saat ini.
Tak perlu ku ceritakan kepada Devan.
.
Tak terasa mataku semakin berat, ku pejamkan hingga akhirnya ku tertidur masih dengan mukena yang ku pakai tadi.

---Bersambung---

Pacaran setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang