'Pertemuan kedua'

11.5K 546 35
                                    

Pov. Nabilah

"Jika nanti yang lahir ialah bayi laki-laki, akan kuberi nama ... Ahmad Athaya Akbar,"

Devan memainkan janggut tipisnya, seolah berfikir.

"Hm ... bagus, aku suka."

"Udah, gitu doang? Gak mau nanya dulu apa artinya, gitu?" tanyaku.

"Aku sudah tahu artinya, sayang ... makanya langsung acc."

"Hm ... siapa tau kamu--"

Krining-krining..!
Percakapan kami terputus kala gawai di dalam tas ku mengeluarkan suaranya.

'Iren?'

"Sayang, sebentar. Aku angkat telpon dulu, boleh?"

"Silakan, sayang." Devan mengangguk.

"Assalamualaikum, Ren? Iya ini aku udah di jalan, mungkin sekitar dua puluh menit lagi sampai. Oke, enggak, aku diantar suamiku, iya siap, oke, Waalaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh,"

"Iren?"

"Iya, Sayang. Oh ya, sepertinya dedek bayi kita mulai laper, sayang. Hihi, aku mau sarapan di sini saja ah, boleh?"
Tanyaku, memasang wajah yang memelas.

"Moduuus ... dedek bayinya apa uminya ...?"
Devan mencubit pelan hidungku, gemas.

"Aww--! Sakit Sayang ..."

"Hihihi, maaf, maaf, habisnya, aku greget. Makanlah yang banyak, sayang. Biar makin Ndut."

"Apa? Bilang apa tadi?"

"Ndut."

"Beneran, aku gendut?"

"Enggak, sayang. Aku bercanda, hihi. Ayo, makan yang banyak, yah! Aku senang, bila kamu sehat seperti ini."

"Beneran ...? Bukan satire kan?"

"Lho, koq satire? Enggaklah,"

'Apa benar aku gendut?
Aku benar-benar gendut, atau Devan hanya becandain aku, sih?
Tapi emang aku ngerasa, gamisku naik satu size dari biasanya, padahal cuttingnya sudah umbrella.
Hm ... biar sajalah aku gendut, aku juga bisa bikin Devan gendut. Aku punya cara agar nanti timbangan berat badan kita bergeser ke kanan bersama, Hohoho'

Hatiku bergumam jahat.

"Yasudah, aku makan, ya! Tapi kamu juga harus makan."

"Aku kan lagi nyetir, sayang?"

"Kan aku suapin, Pokoknya ... mulai sekarang, kalo aku makan, kamu juga harus makan, ya!"

Tanduk di kepalaku mulai tumbuh.

'Kita lihat nanti, kita akan mengendur bersama. Hihihi'

"Jangan bilang, kamu juga mau bikin aku biar gemuk?" Selidik Devan.

"Wkwkwkwk memang iya. Ayo, buka mulutnya! A ...."

Bak seorang ibu yang sedang menyuapi anaknya, Devan menuruti perintahku untuk membuka mulut.

"Masakan Bi Inah memang TOP, paling enak nomor tiga di seluruh dunia." puji Devan, sambil mengunyah nasi goreng buatan bi Inah.

"Lho, nomor tiga?"

"Iya, kan nomor satunya Mama, nomor dua kamu."

"Hihihi ... bisa aja."
Suap demi suap nasi goreng Bi Inah telah habis kami santap bersama.

Beberapa saat kemudian, tak terasa kami telah sampai di butik.

"Alhamdulillahirobbil'Alamin, sampai."

Pacaran setelah MenikahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang