|| Tiga Puluh Tiga

4.7K 443 111
                                    

Hilang Kesempatan ||

Hilang ingatan yang dialami Pak Anva saat awal siuman hanya berlangsung beberapa saat. Malamnya Pak Anva sudah mampu sedikit demi sedikit mengingat peristiwa yang terjadi sepuluh tahun ke belakang.

Untuk pasien trauma kehilangan sebagian memori adalah hal yang wajar. Butuh waktu sampai Pak Anva akhirnya benar-benar bisa mengenali Hide sebagai head-chef di restauran yang dia kelola. Butuh waktu juga untuk akhirnya Pak Anva menyadari siapa Kara.  Setelahnya bisa ditebak, Pak Anva kembali ke mode Hey-Kara-kamu-tak-kasat-mata bagiku.

Sudah sebulan sejak Pak Anva keluar dari rumah sakit. Sudah sebulan pula Kara merasa gelisah. Kara tidak membenci Pak Anva. Dia maklum akan perlakuannya. Siapa pula akan ramah pada seseorang yang pernah membuat kecewa. Ditambah karena seseorang itu pula Pak Anva harus mengalami koma. Yang tersisa kini hanya penyesalan. Kalau tak malu, Kara ingin mengoreksi jawabannya. Malah Kara berharap Pak Anva mau meminangnya lagi.

Tapi apa bukan karena kasihan?

Tidak, bukan karena kasihan. Awalnya Kara berpikir semua karena rasa bersalah. Namun setelah dipikir kembali, Kara lebih yakin pada perasaannya. 

Pak Anva tidak mengalami cacat permanen. Luka-lukanya berangsur pulih. Hanya tinggal tersisa bekas jahitan di pelipis atas dekat alis. Karena melintang dekat alis jadi sedikit tertutupi alis. Begitu keterangan Hide saat Kara pernah bertanya. Jadi tak ada alasan Kara untuk kasihan.

Sayangnya harapan tinggal harapan. Kara malu untuk sekadar membicarakannya dengan ayahnya. Pak Anva juga sudah jarang berada di Oceanost. Dia hanya datang saat waktu-waktu tertentu karena dia lebih sering berada di rumah orang tuanya.

Alhasil Kara harus mengubur keinginannya. Seiring waktu mungkin perasaan Pak Anva akan berubah padanya. Dan semoga Kara pun bisa melupakan Pak Anva.

"Iya No. Ga apa-apa, bisa kutangani. Kamu sudah ke kampus lagi? Ok reschedule saja kalau begitu. Ok. Sipp. Wa'alaikumussalam."

Kara mendengar jelas percakapan ayahnya di telepon. Jadi Pak Anva sudah mengajar lagi.

Apa Kara akan bertemu di kampus hari ini? Bertemu pun kamu mau apa Kara!

"Kara ...  Sini sarapan dulu." Ayahnya berada di kitchen island di ruangannya di lantai 2. Dua porsi sarapan telah terhidang. Nasi goreng dengan campuran udang dan telur masih mengepulkan asap. Tak ketinggalan secangkir kopi hitam dan segelas susu menjadi pelengkapnya.

Kara tersenyum kikuk menghampiri ayahnya. "Kara ini gadis macam apa, Yah?" basa-basi Kara mengalihkan kekalutan pikirannya.

Hide menyatukan alis. Kerut khas yang Kara sudah kenal betul terbentuk di dahi ayahnya.

"Ya, untuk sarapan saja Ayah yang nyiapin." Kara menjawab keheranan Hide.

"Kara itu gadis istimewa yang sarapannya disiapkan oleh ayahnya yang hobi masak."

Kara nyengir lebar. Ayahnya ini tak pernah mempermasalahkan kekurangan Kara. Di mata ayahnya Kara selalu istimewa.

"Di kampus hati-hati yaa. Selalu cari tempat ramai," pesan Hide pada Kara.

"Baik, Yah, ehm, tapi ... bisa ga sih Rey kita laporkan polisi?"

"Kalau mau lapor harus punya bukti yang kuat. Jangan sampai kita yang dilaporkan karena pencemaran nama baik." Hide menghidu sesaat kopinya sebelum menyesapnya perlahan.

Kara tertunduk memainkan sendok di tangannya. "Kara udah kesel sama Rey, Yah. Selama ini dia bebas melancarkan semua aksinya."

"Untuk sementara kamu berhati-hati saja, ya. Sampai Rey bisa ditangkap karena kejahatannya."

UKARA (Tamat)Where stories live. Discover now