|| Dua Puluh Sembilan

4.1K 566 53
                                    

_
_

Embun ||

Ano sedang duduk di kursi malas di pinggir kolam renang. Berkas-berkas tergeletak berantakan di atas meja di sebelahnya. Pagi ini harusnya Ano joging namun entah mengapa dia enggan turun dari lantai tiga, tempat ruangannya berada.

Lantai tiga sangat luas karena area lantai tiga hanya disisakan sepertiganya saja untuk rooftop berupa kolam renang. Dan ruangan luas tersebut entah mengapa kini menyesakkan bagi Ano. Sejak pagi Ano lebih senang berada di sekitaran kolam renang. Memeriksa beberapa tugas dari mahasiswanya dan mengerjakan jurnalnya.

Sore menjelang, namun suara tawa itu belum mau berhenti. Tawa dari dua orang yang sedang bercengkrama di balkon lantai dua. Tawa yang satu sudah biasa bagi Ano, bertahun-tahun Ano mendengarnya. Tapi kalau yang satu lagi, ahh ... agak mengganggu.

Tawa yang kerap merayapi gendang telinga Ano lalu terhubung ke saraf pendengarannya. Hingga otaknya menyimpulkan bahwa belakangan tawanya agak mengganggu. Bukan karena tawanya yang nyaring atau tidak enak didengar. Justru bagi Ano tawanya terlalu merdu, kalem tak berlebihan.

Terus apanya yang mengganggu, No?

Pokoknya tawanya mengganggu!

Oh, lebih tepatnya keberadaannya di sekitar Ano yang mengganggu!

Ano menghentakkan berkas ke atas meja. Kini dia agak kesal. Mengusap tengkuknya, Ano mendengus kasar. Ternyata ini lebih sulit dari menyelesaikan jurnal-jurnalnya. Tidak bisa dibiarkan. Kegelisahannya tak boleh terlalu lama bercokol di hatinya. Ano harus bertindak.

Perlahan tapi pasti, Ano mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaan pemilik tawa merdu itu. Ano tidak menyukai saat dia tersenyum pada Hide. Atau saat dia bergaul akrab dengan pegawai perempuan, bahkan sampai membantu meringankan pekerjaan mereka. Dan satu hal lagi yang agak mengganggu, Ano sudah tidak leluasa lagi bertandang ke kediaman Hide di sayap kanan lantai dua. Ya, karena ada dia.

Ayolah seluruh properti Oceanost, kan, miliknya. Tapi nahasnya dia tidak leluasa di tempatnya sendiri.

Entah gegara tawanya atau ketidaktahuannya kalau dia telah mengganggu Ano. Atau karena outfit abu-abunya ... huhh, mood Ano jadi terjun bebas. Bahkan sampai malam hari saat dia akan membicarakan hal yang mengganggunya pada Hide.

Ano masuk ke ruang kantor saat gadis yang belakangan ini mengganggunya sedang duduk di kursi kerjanya. Tampak tersenyum ceria bersama Hide yang sedang duduk di sofa panjang.

Ano berdehem kencang untuk menarik perhatian keduanya. Gadis itu terkejut dan refleks berdiri.

"Bisa tinggalkan kami berdua, Uka ... ra," titah Ano tegas namun terbata di akhirnya.

"Uhm ...." Gadis itu terlihat kikuk lalu menoleh pada Hide.

Pandangan Ano pada Hide, Hide memberi kode dengan anggukan. Gadis itu ... okay dia Ukara, akhirnya meninggalkan kantor dengan wajah muram.

"Ada masalah, No? Oceanost sudah di-handle Ronal. Everything is under control."

"Banyak masalah, Hide." Ano duduk di samping Hide. Menatap serius pada Hide.

Hide menaikkan alisnya.

"Langsung saja ya, Hide. Sepertinya gadis itu ... ehm ... ya ... madsudku Ukara, tidak bisa lagi tinggal di sini."

"Kamu mengusir aku, No?" tanya Hide setenang malam.

Ano mendengkus. "Kenapa aku harus mengusirmu? Yang kumaksud Ukara. Tolong pulangkan saja dia ke ibunya."

UKARA (Tamat)Where stories live. Discover now