|| Tiga

5.3K 592 20
                                    

_
_

Tak Selaras ||

Ano menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya lebih segar karena mandi. Hari ini dirinya memiliki empat kelas dengan dua mata kuliah yang berbeda. Cukup melelahkan karena mood-nya rusak dengan drastis di kelas kedua.

Ada dua orang mahasiswi yang terlambat masuk kelas. Salah satunya benar-benar membuatnya kesal. Keberadaan mahasiswa yang main-main di pertemuan pertama selalu merusak semangatnya dalam mengajar, Ano merasa tidak dihargai.

Bagusnya Ano sudah mem-blacklist namanya di semester ini. Sadis? Ano merasa tidak demikian. Ini bisa jadi pembelajaran untuk mahasiswa lain. Dan pembelajaran untuk si mahasiswa itu, semester depan dia akan lebih berdisiplin.

Ano teringat kembali kejadian tadi. Di pertemuan pertama, mahasiswi itu sudah memberi kesan buruk. Tak seperti temannya yang bernama Rindu, walaupun sama-sama berkerudung dan berpakaian lebar namun Rindu berdandan lebih anggun, resmi, dan rapi. Sedangkan gadis itu, dandanannya membuat Ano ilfeel. Menghadiri kelas dengan sandal gunung, kerudung lebarnya sudah agak pudar warnanya. Belum lagi pakaian lebarnya yang melebihi mata kaki. Ano tak berani membayangkan. Entah kotoran apa saja yang sudah menempel di sepanjang jalan.

Ditambah satu hal yang membuat nilai mahasiswi itu jatuh di mata Ano, dia mencoba-coba siasat yang biasa dipakai Arifin teman seangkatannya dulu. Arifin mahasiswa yang malas, jika telat dia akan membela diri dengan mengatakan bahwa jam ditangannya menunjukkan kalau dia belum telat. Persis seperti yang dilakukan gadis itu. Ano mendengus, dia adalah dosen yang tak mudah dibodohi.

Ingatan Ano di kampus dia putus sampai di sini, Dia harus segera turun untuk makan malam. Usai memastikan kegiatan bersih-bersihnya sempurna, Ano berpakaian. Malam ini dia tak akan ke Oceanost, ada bahan ajar yang harus dipersiapkan semalaman nanti.

Tok tok tok.

"Den ditunggu di meja makan sama Bu Ratu." Mbak Kasih di balik pintu berbicara setengah berteriak agar terdengar ke dalam.

"Ya mbak."

Terakhir Ano kembali bercermin. Kaus santai berwarna abu-abu dan celana kargo pendek warna khaki, perfecto, Ano siap untuk makan malam. Tiba di meja makan Ratu ibunya, sedang bersiap-siap menata sajian makan malam.

"Bu... kangen." Ano memeluk Ratu dari belakang. Berlama-lama mencium puncak kepala ibunya.

Ratu yang hanya setinggi dada Ano tak berkutik dan menghentikan aktifitasnya. "Mas, kebiasaan deh."

Ano bergeming, tetap memeluk ibunya.

"Mas, harusnya bukan ibu yang dipeluk begitu. Paling cocok kakak ipar yang dipeluk begitu." Angkasa yang baru bergabung, mencibir.

Ano berdecak,  Angkasa Adiknya ini selalu merusak kesenangannya saja.

"Sudah-sudah. Ayok ambil nasi dan lauknya, kita makan," lerai Ratu pada kedua anaknya itu.

Tak lama Raja sang kepala keluarga turut bergabung. Makan malam keluargapun dimulai. Makan malam keluarga adalah tradisi yang selalu dijaga. Ano dan Angkasa harus menyempatkan pulang ke rumah sebelum maghrib atau sebelum isya, agar ketika ba'da isya mereka semua sudah siap di meja makan.

Makan malam berlangsung dalam hening, masing-masing fokus memenuhi hajat makannya. Sampai suara Raja memecah hening.

"Mas, Ayah sudah ketemu sama Pak Sanjaya teman kuliah Ayah dulu. Ayah juga sudah ketemu sama putrinya, cantik, Kamu pasti suka."

Gerakan tangan Ano terhenti, sesaat melirik pada Raja Ayahnya dan mengangguk.

"Ayah juga sudah janji akan berkunjung ke sana lusa malam. Kamu siap-siap ya."

Ano dilema, jika tak disampaikan sekarang kapan lagi ayahnya tahu isi hatinya. Dia tak ingin dijodohkan. Cukup dalam hal memilih sekolah, memilih universitas, dan memilih pekerjaan Ayah dan Ibunya mengaturnya. Tidak untuk masalah pasangan hidup. Akhirnya Ano membulatkan tekad, now or never.

"Yah, kalau Ano ga tertarik gimana? Ijinkan Ano mencari sendiri Yah."

"Sudah enam tahun Ayah nunggu kamu nyari sendiri, sekarang mana ada ga?"

Ano mengembuskan napas kasar. Angkasa di samping Ano terkikik geli.

"Kamu ke sana aja Mas. Kalau sudah ketemu kamu pasti suka." Suara lembut ibunya bukannya menenangkan Ano malah membuat Ano semakin yakin kalau dia tak akan menyukai pilihan Ayahnya ini.

"Ayah hanya ingin yang terbaik buat Kamu Mas. Anaknya lemah lembut dan penyayang, kata ibunya dia juga pinter masak. Masih kuliah, tapi dia ga masalah kalau menikah sebelum lulus. Nanti hitung-hitung Kamu bisa bantuin dia bikin skripsi."

Ano kembali mengembuskan napas, tapi kali ini samar. Emangnya Ano dosen pembimbingnya apa.

Ano tak bisa mendebat. Dia anak tertua, dituntut untuk memberi contoh yang baik untuk Angkasa adiknya. Dengan tidak membantah keinginan Ayah dan Ibunya adalah salah satunya.

'Ayah hanya ingin yang terbaik buat kamu Mas', ucapan ini persis seperti yang diucapkan Ayahnya saat memilihkan sekolah, universitas, dan pekerjaan untuk Ano.

Tak ingin berdebat Ano mengangguk. Otot lehernya sebagai efektor hampir selalu berselisih dengan hatinya, tak kompak sama sekali. Mungkin ini yang selalu membuat Ano lelah tiap kali berbicara dengan ayahnya. Karena luarnya tak selaras dengan hatinya.

Bersambung

««»»

Makasih sudah menyempatkan baca.
Pendek? Sengaja biar makin penasaran.

-Pena Laut-

««»»

UKARA (Tamat)Where stories live. Discover now