|| Dua Puluh Lima

4.4K 528 42
                                    

_
_

Ikhlas ||

"Ano, ini putriku Ukara Kanaya. Dan Kara ini Anva Oceano Setha." Hide mengenalkan Ano dan Kara. Ketiganya duduk di sofa coklat di kantor Oceanost.

Setelah hampir satu jam lebih Kara berada di parkiran Oceanost, Hide akhirnya pulang dari pasar dan sekarang berusaha meluruskan kesalahpahaman Ano pada Kara.

Tadi Ano sempat heran kenapa Kara tidak pulang ke rumahnya saja, malah menunggu di parkiran. Ya, ok, memang rumah ayah kandungnya ada di sini. Jadi dia tak kemana-mana. Dan, oh, jangan salahkan Ano. Manalah Ano kepikiran gadis cilik pirang bermata biru tiba-tiba bertransformasi menjadi gadis indonesia seperti Kara.

Ano memandang dengan penuh kewaspadaan. Putrinya Hide?

"Ano, aku tahu mungkin kamu punya banyak pertanyaan, tapi dia benar putrinya Mira. Mantan istriku." Hide memahami kesangsian Ano. Hide hampir mengenali Ano luar dalam, anak muda yang kuat memegang azzam ini terkadang punya masalah dengan memercayai orang baru.

Ano mengangkat bahu lalu bergeming. Malas sekali minggu cerahnya harus diawali oleh insiden kesalahpahaman ini. Wajahnya berubah lebih segar setelah mandi tapi mood-nya rusak. Diliriknya Kara, sejak tadi Kara tak menatapnya.

"Menurut Kara, kamu dosennya di kampus. Kurasa kalian sudah saling mengenal."

Kara mengangguk kemudiaan mengalihkan pandangannya.

"Dan, Ano, aku meminta ijin untuk Kara tinggal bersamaku di lantai dua."

"Ok, saya ijinkan." Ano menjawab singkat, padahal kalimat tanya yang diawali oleh apa dan bagaimana berjejalan di benaknya.

"Sekarang, Kara, bisa tinggalkan kami berdua?"

Kara mengangguk, dia segera bangkit dan keluar.

"Hide, kamu yakin?" Ano segera menyuarakan keraguannya. Apalagi ini Kara. Sosok yang selalu mencari masalah di kampus.

"Ano, ini perkara mahrom yang kuajak tinggal bersama. Tidak mungkin kalau aku sembarangan memasukkan perempuan asing."

"Ya ... maksudku bukankah anakmu bermata biru?"

Hide mengerutkan dahi. Butuh beberapa detik untuk dia mencerna maksud Ano. "Ohh, gadis cilik dalam foto di meja kerjaku. Dia bukan siapa-siapa."

Sekarang giliran Ano yang mengerutkan dahi.

"Dia putri temanku saat di Jepang dulu. Aku benar-benar tidak punya akses apapun terhadap putriku. Jadi foto di figura itu kuanggap sebagai foto putriku." Hide tersenyum getir. "Sekarang semoga kamu tidak keberatan kalau kara akan menetap bersamaku. Setidaknya sampai dia menikah."

Mata Ano sempat membola, Hide ada-ada saja pikirnya. Sejenak kemudian Ano menggeleng muram. Percaya tak percaya akan kenyataan kalau Kara adalah putrinya Hide. Walaupun Ano akui bila diperhatikan dari dekat, Kara, ehm ... ya ... mata dan garis wajahnya mirip Hide. Benak Ano segera dihantarkan kesadaran, berarti gadis yang tertawa anggun di balkon kamar Hide adalah Ukara. Ano mengernyit heran. Merasa aneh dengan pemikirannya barusan.

Tertawa anggun?

"Silakan, Hide, Oceanost akan selalu menjadi rumahmu dan ... putrimu." Ano menjeda kalimatnya. Berkenan tapi ada nada berat di sana. Mau tidak mau. Lebih karena Ano menghormati Hide. Dan satu lagi, mau tidak mau karena Kara akan jadi kerabatnya kalau Angkasa nanti menikah dengan Tari.

Keduanya kemudian terdiam. Belum ada satu pun yang beranjak. Ano memandang Hide sambil mengetukkan telunjuknya ke punggung sofa, sedang Hide memandang pohon tebebuia yang hanya terlihat separuh karena terhalang tirai.

UKARA (Tamat)Where stories live. Discover now