|| Dua Puluh Dua

4.7K 530 98
                                    

_
_

AYAH ||

Hide tidak salah dengar, gadis di hadapannya ini barusan memanggilnya ayah.

"Ayah ... aku Ukara, putrinya Mira," ucap gadis itu perlahan.

Tak menunggu lama-lama, Hide segera merengkuh gadis di hadapannya ini, erat. Hide tergugu. Setelah 21 tahun akhirnya dia bisa memeluk embunnya.

"Ayah ... ini benar Ayah?"

"Iya, ini Ayahmu."

"Masya Allah ...." Kara terisak di pelukan Hide.

Tadi emosi Hide agak terpancing saat Mulya, pelayan Oceanost mengatakan jika ada pengunjung resto yang ingin dibayarkan bill-nya. Saat sudah dihadapan pengunjung itu juga Hide harus menunggu. Pengunjung itu adalah seorang gadis muda berhijab, berdiri kikuk menguji kesabaran Hide.

Sampai kesadaran menghantamnya saat gadis itu tersenyum. Senyum itu milik Mira, seseorang yang istimewa di masa lalunya. Kemudian matanya, tentu saja itu mata miliknya. Hidungnya pun hidungnya. Secara keseluruhan wajah gadis ini adalah duplikasi wajahnya.

Ehm, Hide sempat bingung tadi. Benarkah gadis ini embunnya, putri kandungnya? Kalau benar seharusnya namanya Embun. Hide kecewa saat gadis itu menggeleng. Atau ... Ukara? Saat gadis itu berbalik dan memanggilnya Ayah, runtuhlah pertahanan Hide. Yang didamba selama belasan tahun akhirnya muncul di hadapannya.

Harapannya untuk beroleh informasi dari Rina tak kunjung membuahkan hasil. Sudah belasan tahun, Hide merasa diombang-ambing oleh Rina. Di pertemuan terakhir, Hide mencoba meminta alamat Mira yang Hide tahu memiliki putri dari hasil pernikahannya dengan Hide dulu. Tapi pertemuan itu tetap tidak membuahkan hasil. Sebegitu lamanya hukuman bagi Hide, tidak bisa dipertemukan dengan putrinya. Namun malam ini adalah kejutan terindah. Dengan mata basah Hide melepas pelukannya, memandang lekat pada Kara.

Pertemuan dua insan ini jelas menjadi tontonan pegawai Oceanost, terutama pelayan yang wara-wiri mengantarkan pesanan. Sadar ada beberapa pasang mata tertuju padanya Hide segera menggandeng Ukara menuju dapur.

"Tunggu, Ayah ... uhm, makanannya, sayang."

Hide melihat pada meja ada sebagian piring dan mangkuk yang masih terisi.

"Mul, bungkuskan dan antarkan ke tempatku." Hide memberi kode pada Mulya. Mulya tersenyum dan mengacungkan ibu jarinya.

Lewat tangga di dapur Oceanost, Hide menuju lantai dua. Tepatnya menuju ruangan tempat tinggalnya. Ruangan luas yang selama ini dia tinggali sendiri itu tampak rapi. Hide membimbing Kara menuju sofa dekat jendela. Dari sofa terlihat pemandangan malam halaman belakang dan parkir Oceanost. Setelahnya Hide menyuguhkan teh hangat pada Kara. Lagi-lagi Hide memandang lekat pada Kara. Menikmati wajah ayu yang tak pernah hadir di mimpinya. Hide benar-benar tak memiliki gambaran akan seperti apa wajah putrinya. Foto bayinya pun Hide tak punya.

"Ehm ... A ... Ayah namanya Hasan? Tapi dari name tagnya bukan Hasan, uhm ... Hide?" Gadis di hadapan Hide ini menunjuk name tag yang ada di seragam yang dikenakan Hide. Tingkahnya yang sedikit kikuk menggemaskan bagi Hide. Barokallahu, mulai sekarang Hide bisa menikmati pemandangan ini. Putrinya, darah daging yang selama ini dirindu.

Hide tersenyum simpul. Hasan adalah nama dengan sejuta kenangan. "Hasan itu nama ayah saat jadi mualaf dulu, sebelum bertemu Mira, ibumu."

Kara mengangguk, lalu meneguk tehnya. Setelahnya menengok ke sekeliling. Kara benar-benar masih kikuk.

"Ibumu tahu kamu kemari?"

"Kara sudah pamit."

"Kamu bagaimana bisa ke tempat ini? ehm ... maksud Ayah, kamu tahu dari siapa? Karena setahu Ayah, Mira tidak pernah mengijinkan Ayah untuk tahu tentangmu. Rina juga benar-benar tutup mulut tiap Ayah tanya."

UKARA (Tamat)Where stories live. Discover now