|| Dua Puluh Enam

4.2K 551 69
                                    

_
_

KESAL ||


Dua orang terdekatnya akan melepas masa lajang dalam waktu dekat. Ada Zafran yang akan mengadakan akad dan walimah minggu ini. Juga ada Angkasa, adiknya, yang akan melangsungkan pernikahannya dengan Tari bulan depan.

Ano berbahagia, tentunya, hanya saja Ano harus menebal-nebalkan telinga. Kanjeng Ratu tak henti-hentinya membahas kapan Ano menyusul. Ano hanya bisa menjawab, "doakan saja ya, Bu." Walaupun aslinya, manalah Ano kepikiran. Untuk saat ini belum ada yang menarik hatinya. Ano tak ingin menjalani pernikahan hanya karena tuntutan orang tua. Atau bahkan tuntutan lingkungan, mengingat usianya yang sudah berkepala tiga.

Hanya saja sebagai anak yang berbakti pada orang tua, Ano tak menolak saat orang tuanya mengenalkan dia dengan anak-anak kolega papinya. Raja dan Ratu berharap ada perempuan yang yang menarik hati Ano. Dan jika saat itu tiba, Raja dan Ratu bisa langsung melamar.

Tapi sekali lagi, belum ada yang menarik hati Ano. Dia masih nyaman dengan statusnya saat ini. Kesibukannya membuat Ano santai saja dengan kesendiriannya. Aktivitas  sebagai dosen cukup melelahkan, tapi berada di Oceanost di malam harinya meleburkan kepenatannya. Ano bersyukur, Allah memudahkan kedua aktivitasnya tersebut.

Pagi jum'at di Oceanost. Ano lebih santai. Mengajar, menjadi nara sumber di seminar, dan workshop adalah kegiatannya selama minggu ini. Hari ini Ano off ke kampus. Harusnya week end Ano ke luar kota untuk menyelesaikan jurnalnya, tapi lusa adalah pernikahan Zafran. Ano pasti menghadirinya maka Ano memilih me-reschedule jadwalnya ke luar kota.

Seperti biasa, berdiri di birai rooftop sambil bertopang pada besi penyangga. Ano menikmati udara pagi. Lagi-lagi, ahh, lagi-lagi pergerakan di sisi kanan tertangkap ekor matanya. Uka, si gadis abu-abu terlihat sedang menerima telpon dan tertawa anggun. Iya, anggun. Dan kali ini entah mengapa Ano bisa menangkap ekspresinya. Bisa juga  mengidentifikasi wajahnya.

Ano menggeleng. Memang sulit memercayai, gadis yang sejak awal sudah membuatnya tidak simpatik ternyata putrinya Hide. Putri dari seseorang yang selama ini Ano hormati.

Ano membiarkan Hide membawa serta putrinya untuk tinggal di Oceanost, semata karena penghormatan Ano pada Hide. Lagi pula, so far so fine, gadis itu tak membuat ulah apapun. Ano masih menatap pada Kara yang berbicara di telpon. Matahari beranjak naik, terbukti dengan cahyanya yang lebih pekat. Ano tak menyadari ternyata sudah terlalu lama dia menyaksikan adegan di balkon. Tak biasa-biasanya, No. Tumben.

<<>>

"Iya, iya, Rind." Kara tertawa kecil mendengar celoteh Rindu di ujung telpon. Rindu mewanti-wanti Kara untuk jangan lupa menginap di malam sebelum pernikahannya. Cukup lama keduanya berbicara, sampai panas kuping Kara.

"Ya, udah, kututup dulu yaa. Enggak ada kuliah hari ini tapi kayaknya aku sibuk dengan agenda hari ini."

" .... "

"Iyaa, siapp, insya Allah besok nginep. Hemmhh, Wa'alaikumussalam."

Duh, calon pengantin heboh amat. Kara tersenyum, betapa bahagianya Rindu dilamar oleh seseorang yang didamba. Kamu kapan, Kara? Err, jangan tanya soal begituan pada Kara. Berada di titik ini saja sudah sebuah anugerah bagi Kara. Bertemu dengan ayah kandung dan bebas dari jangkauan Rey.

Usai menelpon Rindu, senyum masih tak lepas dari wajah Kara. Sampai matanya menangkap seseorang di rooftop, posisinya di sebelah kiri dari balkon. Kara yakin dia adalah Pak Anva. Sejak kapan dia berdiri di situ? Kara menoleh, menyengaja bersemuka dengan Pak Anva. Pandangan mereka sempat saling mengunci, berikutnya Pak Anva melengos. Duhh, ke-gap ya, Pak?

UKARA (Tamat)Where stories live. Discover now