|| Sembilan Belas

5.4K 524 121
                                    

_
_

Sudah berbulan-bulan pasca batalnya perjodohan Pak Anva dan Tari. Bapak masih belum terima, topik Pak Anva kerap mengemuka. Dari mulai kemungkinan untuk Bapak menemui Om Raja lagi atau Tari yang aktif mendekati Pak Anva kembali. Kara sih senang bukan kepalang tidak jadi memiliki ikatan keluarga dengan Pak Anva.

Untuk Tari Alhamdulillah dia lebih berbesar hati, katanya Tari bersyukur ini belum sampai ke tahap menyebar undangan atau lebih buruk sampai ke pernikahan. Yah, Kara memandang Tari sudah move on. Lagian apa sih yang mau diharap dari dosen jutek itu. Begitu pikir Kara.

Kara menyapu pandangan ke seluruh penjuru kelas. Seluruh mahasiswa fokus memperhatikan ke depan, ke arah Pak Anva yang sedang menjelaskan mengenai pengamatan potensi lautan melalui sistem penginderaan jauh.

Beberapa slide menunjukkan potensi luar biasa lautan nusantara, begitulah tiga per empat bagian bumi yang berupa lautan telah Allah tundukkan untuk kepentingan manusia. Rizki Allah terhampar di permukaan bumi, terkubur dalam lapisan-lapisan tanah, terselip dalam batuan-batuan, dan bahkan tenggelam di lautan dalam. Sebagiannya telah tereksplor dan tereksploitasi, sebagiannya masih misteri. Sayangnya manusia yang tamak mengabaikan hak-hak bersama bagi rakyat dalam kekayaan itu dan lebih memilih menyerahkannya pada pemodal asing. Miris.

Kara kini menatap ke arah Pak Anva. Ada satu hal yang Kara sadari sejak berbulan-bulan lalu Pak Anva membatalkan perjodohan, bahwa tiap perkuliahan Pak Anva sama sekali tak memandang ke arahnya, melirik pun tidak. Batin Kara tersenyum jumawa, itulah jika orang merasa bersalah. Nggak berani macem-macem kan.

Kara mengira Pak Anva yang tak berani menatapnya pasti karena Pak Anva sungkan. Semoga Pak Anva tahu diri untuk tak mencari masalah dengan mantan calon kakak iparnya ini. Tapi, Kara salut dengan keberanian Pak Anva. Membatalkan kesepakatan dengan Bapak butuh nyali besar. Kara masih ingat malamnya setelah keluarga Om Raja datang membatalkan perjodohan, Bapak marah besar. Syukurlah esok-esok harinya emosi Bapak mereda, jadi Kara berani nimbrung lagi untuk makan bersama di meja makan.

Apa Kara tiru saja Pak Anva. Membatalkan dengan tegas perjodohannya dengan Rey, kalaupun Bapak marah paling seminggu atau dua minggu. Kondisi itu lebih baik dibandingkan Kara harus menghabiskan sisa waktunya dengan laki-laki yang abai pada aturan-Nya. Menjaga dirinya dari api neraka saja dia tak bisa apalagi menjaga istri dan anaknya?

Hp Kara bergetar.
Sembunyi-sembunyi Kara membaca pesan singkat dari Tari. Hp yang bergetar barusan, Kara letakkan di bawah buku catatannya. Ok, aman Pak Anva tak menyadari Kara mencuri-curi lihat ke balik buku catatannya.

From Tari
Kak, kt Ibu mlm ini keluarga Mas Rey mau mkn malam di rmh. Jgn plg telat ya.

Usai membaca pesan, Kara mengembuskan napas berat. Apa lagi ini? Kalau keluarga Rey datang berarti Rey juga ikut. Sungguh, wajah tampan Rey adalah wajah yang tak terpikirkan ingin Kara lihat. Atau... ya, ini kesempatan! Kara menghela napas, membulatkan tekad. Malam ini Kara akan mengikuti jejak Pak Anva. Ini urusan dunia akhirat soalnya, urusan meletakkan ketaatan pada imam keluarga adalah urusan dunia akhirat, bukan? Kara tersenyum menguatkan diri.

"Sssstt... Kara, Kara." Rindu menggeser sedikit kursinya dan menyikut Kara. Kara menoleh pada Rindu dan menaikkan sebelah alisnya.

"Itu, itu...," bisik Rindu dengan bibir mengerucut dan mata melirik bolak-balik pada Pak Anva di depan kelas.

Kara lalu mengikuti arah lirikan Rindu. Terlihat Pak Anva mengetuk-ngetukan spidol di meja tanda kesal.

"Saya Pak?" tanya Kara tergugu. "Iya Pak, ada apa?" Oh, nyali Kara untuk nanti malam boleh lah membesar, tapi sekarang di bawah tatapan intimidatif Pak Anva nyali Kara jadi mengecil. Kapan Kara dipanggilnya, perasaan barusan masih menerangkan slide di depan.

UKARA (Tamat)Where stories live. Discover now