|| Enam

4.6K 506 14
                                    

_
_

Kapok ||

Cafe Diens adalah cafe di dalam kampus. Tak banyak Mahasiswa yang kemari karena harganya yang tak cocok untuk kantong Mahasiswa. Mereka lebih banyak mengunjungi kantin-kantin yang terdapat di beberapa penjuru kampus. Sudah bisa dipastikan siapa saja yang selalu mengunjungi cafe ini. Selain para dosen dan para pejabat kampus di rektorat atau dekanat beberapa mahasiswa pascasarjana berkantung tebal juga rutin mengunjungi cafe ini.

Suasana cafe yang chic dan teduh benar-benar bisa dijadikan sebagai tempat refreshing mengisi waktu istirahat di sela-sela mengajar. Di sudut cafe tampak dua orang sahabat sedang mengobrol hangat. Dulu Ano adalah dosen fresh graduates yang mengajar di kelas Zafran. Zafran saat itu memasuki akhir tingkat tiga. Zafran cukup aktif, cerdas, dan bisa mengimbangi Ano dalam diskusi-diskusi di kelas. Merekapun mengambil Master di Universitas yang sama. Jadilah sampai saat ini mereka bersahabat. Bahkan ketika Ano melanjutkan program doktoralnya di luar negeri persahabatan mereka tetap terjalin.

Dua sahabat dengan kesukaan yang sama. Dua gelas kopi espresso menjadi penutup makan siang mereka. Ano menyesap kopinya perlahan, asap masih mengepul dari cangkirnya. Tak membakar, namun sensasi meminum kopi saat asap masih mengepul itu bagi Ano menenangkan.

"Kamu sekarang jadi sering ke Kampus Fran?" tanya Ano heran. Biasanya mereka bertemu di Oceanost, tapi belakangan mereka sering bertemu di cafe ini.

Fran tersenyum penuh arti. "Di utus dari kantor untuk proyek di Rektorat sama sesekali ke MA, jadi narsum."

Ano tak puas pasti ada hal lain yang membuat orang sesibuk Zafran jadi sering ke kampus. "Cuma jadi narsum dan proyek? Kamu nggak lagi ngincer MABA kan?"

Zafran tertawa. "Buat apa ngincer Mahasiswa baru, lulusnya masih lama."

"Oh, berarti Mahasiswi lama?" Ano menaikkan sebelah alisnya, puas melontarkan pertanyaan jebakan pada Zafran.

Lagi-lagi Zafran tersenyum penuh arti. "Yah, bukan ngincer tepatnya, tapi menjemput bidadari."

"Tinggal jemput ya Fran, karena bagi Muhammad Zafran cukup dengan kedipan semua Mahasiswi pasti bertekuk lutut."

Zafran merespon dengan tertawa. Ano hanya tersenyum sambil menggeleng. Sahabatnya ini memang dari dulu selalu tahu apa yang diinginkannya dan selalu bisa mewujudkannya.

Pekerjaan Zafran adalah passion-nya. Menjadi editor in chief sebuah majalah Islam yang sedang naik daun. Sedangkan Ano, menjadi Dosen adalah pilihan Ayahnya. Satu-satunya yang bisa melegakan hati Ano adalah Oceanost. Syarat dari Ano untuk bersedia menjadi Dosen adalah Ayahnya tidak boleh mengotak-atik Oceanost dan Ayahnya menyanggupinya.

Tawa Zafran berangsur terhenti saat ada dua mahasiswi yang kasak kusuk di belakang Ano. Ano menoleh menyadari perubahan ekspresi Zafran. Ano berdecak, mau apa gadis ini.

Kara berdehem, melonggarkan tenggorokannya. "Assalamu'alaikum Pak...."

"Wa'alaikumussalam." Ini Zafran yang menjawab, berikutnya dia mengambil laptopnya dan menyalakannya.

Sedangkan Ano bergeming, salam Kara dia jawab pelan. Ano malas menghadapi gadis ini, pilihannya sekarang adalah mengacuhkannya.

Kara sepertinya tak putus asa, dia bergeser ke sebelah kiri sepenuhnya berada di depan Ano. "Pak Anva, saya mau minta maaf dan saya harap Bapak mengijinkan saya mengikuti kelas Bapak."

Ano tak menjawab dan Zafran sibuk di depan laptop tampaknya dia tak ingin turut campur.

"Pak Anva, tolong beri saya satu kesempatan. Saya akan lebih berdisiplin," ucap Kara lagi, dia meremas ujung kerudungnya.

Ano mengangkat wajahnya, mendengus dan menatap Kara remeh. Dia ingin melihat sejauh mana mahasiswinya ini berani mengambil konsekuensi terhadap sikapnya mencari-cari alasan terlambat. Terlihat Kara melirik pada Rindu.

"Maaf, kesempatan yang saya beri hanya di pertemuan pertama. Fair, semua Mahasiswa mendapat kesempatan yang sama dan Anda sudah menyia-nyiakannya." Ano menarik sebelah sudut bibirnya.

Zafran menatap Kara sesaat dan melanjutkan kegiatannya di depan laptop.

"Tap...."

"Sudah jangan buang-buang energi.  Sebentar lagi jam makan siang habis, Kamu ga ada kelas? Kalau terlambat kamu ga akan pake akal-akalan jam tangan lagi kan?" Ano berkata perlahan namun cukup menusuk.

Kara semakin meremas ujung kerudungnya. Bibirnya dikatupkan dan tanpa bicara apa-apa lagi dia berbalik pergi dengan menggandeng Rindu.

"Dari dulu Kamu bermasalah dengan Mahasiswa terlambat No, nggak bosen?" ungkap Zafran sesaat setelah Kara dan Rindu pergi.

Ano mengangkat bahunya. "Tepat waktu menunjukkan keseriusan."

"Tapi dia perempuan," bantah Zafran.

"So what?" Ano mendengus. "Apa perempuan juga tidak harus berdisiplin?"

"Bukan begitu Ano, kurasa tak ada salahnya memberikannya kesempatan. Efek jeranya sudah ngena di dia."

Ano menyesap kopinya lagi dan menandaskannya langsung. "Wait, ada apa Fran?"

"Apa?"

Zafran yang cuek pada lawan jenis tiba-tiba peduli. Ano memicingkan matanya. "Jangan bilang bidadarinya dia?"

Kini Zafran yang mengangkat bahunya.

«»

"Kana... semangat dong." Rindu mengguncang-guncangkan tangan Kara. Kara sendiri duduk dengan menelungkupkan wajah di meja kantin.

Ba'da Ashar tentu saja kantin sudah sepi. Sebagian besar Mahasiswa sudah pulang, hanya Mahasiswa yang aktif di ormawa yang masih ada di kampus. Seperti Kara dan Rindu, mereka harus menghadiri rapat MA untuk membicarakan tema yang akan diangkat pada penerbitan berikutnya. Masih ada setengah jam sebelum rapat dimulai, Kara dan Rindu memutuskan ke kantin. Sekadar membeli es jeruk penghilang penat.

Kara mengangkat wajahnya yang kusut. "Rind, kamu tahu nggak Kana itu obat kaki pecah-pecah?"

Rindu menggeleng.

Kara mendengus lalu menghabiskan es jeruk yang tersisa setengah gelas. "Panggil Kara aja ya cantik."

"Yang Aku tahu Kara juga merk santan." Rindu tertawa kecil.

Oh, kenapa semua nama Kara adalah merk dagang. Kara menjatuhkan wajahnya kembali ke atas meja. "Terserah deh."

"Ayo, jangan patah semangat Na. Temui Pak Anva lagi."

Kara segera mengangkat wajahnya, siap memuntahkan isi hatinya tentang Pak Anva. "Tu orang kurang piknik kali ya Rind. Tampangnya bisa angkuh gitu."

"Kalau di kelas dia nggak angkuh kok. Ramah, guyonannya cerdas, betah kita dua sesi menyimak penjelasan dia...."

Kara melirik tajam pada Rindu, Rindu seketika terdiam, mulutnya ditutup oleh ujung buku jari-jarinya. Keduanya lalu terdiam. Rindu memilih mengeluarkan ponselnya dan membaca chat group. Lalu Rindu seperti teringat sesuatu.

"Na, tadi kayaknya Pak Anva dekat banget sama Kak Zafran. Sepertinya Pak Anva ga sejahat itu deh. Seseorang itu kan bisa kita lihat dari sahabatnya."

"Kamu sebenarnya lagi muji Kak Zafran atau Pak Anva sih Rind?"

"Bukan, maksudku kamu coba temui Pak Anva lagi kamu jujur aja. Sampaikan alasan kamu kenapa harus ngambil mata kuliah itu semester ini. Siapa tahu dia luluh."

Kara mendesah. "Aku kapok deh jajan Cilor lagi Rind."

Bersambung

««»»

Di sini sy coba pakai POV orang ke-3 subyektif. Kadang Kara kadang Anva. Jadinya dalam tiap adegan hanya satu tokoh yang tergali emosinya. Semoga sy bisa berdisiplin ga kelewatan beralih ke POV serba tahu.

Makasih yang masih ngikutin, vote, dan comment.
-Pena Laut-

««»»

UKARA (Tamat)Where stories live. Discover now