xxi. the Truth

2.5K 302 11
                                    

Seokjin keluar dari kamar mandi, sudah lengkap dengan kaos oblong berwarna putih dan celana training puma kesayangannya. Titik-titik air masih berjatuhan dari rambutnya ketika ia duduk di sebelah lelaki itu, si empunya apartment.

Namjoon menggelengkan kepalanya seraya mengambil handuk kecil dari lemari. Ia menarik Seokjin mendekat.
"Kemari."

Seokjin hanya menurut ketika Namjoon mulai membantunya mengeringkan rambut. Entah sejak kapan semuanya terasa normal. Sweater pinknya yang tersampir di sofa, sereal wajib yang harus ia makan dipagi hari, kaus kaki abu-abu miliknya yang berada di mesin cuci, atau sikat gigi dan shampoonya yang terpajang indah di kamar mandi apartment Namjoon. Semuanya ada. Jejak-jejak kehidupan Seokjin ada di sini.

Semuanya terasa normal.
Terasa seperti memang seharusnya begitu.

Namun, kenyataannya?

"Sedang memikirkan apa?"
Suara yang lebih mirip ke bisikan itu membuyarkan pikiran Seokjin.

Jaraknya dengan Namjoon bahkan tidak ada tujuh senti. Sangat dekat. Ia bahkan khawatir bila jantungnya tiba-tiba melompat keluar dari tempatnya. Namjoon dan segala apapun yang ada di dirinya membuat Seokjin hilang akal.
"Kau."

Lelaki itu tersenyum. Matanya hilang, lesung pipi nya terlihat sangat manis. Gerakan mengeringkan rambutnya berubah menjadi belaian. Ia melempar handuk kecil itu entah ke mana, ia mengusap rambut setengah kering milik Seokjin seraya menatap Seokjin tepat di mata.

Seokjin selalu merasa aman ketika menatap sepasang mata itu. Walaupun letupan-letupan diperutnya tidak pernah hilang, namun ia merasa seperti di rumah. Mata itu seolah menyampaikan kalau Seokjin aman di sana.

Selalu ada tensi aneh saat Namjoon menyentuhnya, ada sesuatu di dalam dirinya yang meminta lagi, lebih, banyak. Dan ia tahu Namjoon akan selalu mengabulkannya saat lelaki itu menarik tengkuknyaㅡmenyatukan bibir mereka.

Seokjin mengalungkan tangannya di leher Namjoon, merangsek duduk di pangkuannya. Mengikis jarak tubuh mereka sampai tidak ada sisa. Lehernya mulai panas ketika tangan Namjoon masuk ke dalam kaosnya, mengusap punggungnya dari pangkal sampai masuk ke dalam celananya.

Mereka sama-sama ingin, terlena, dan butuh. Tidak ada yang berniat menyudahi kegiatan itu dan masuk ke tahap selanjutnya. Tidak, sampai ketika Namjoon memilin sesuatu milik Seokjin dan membuat lelaki itu melenguh kencang, membuat adrenalin Namjoon terpacu untuk berlanjut ke tahap selanjutnya.

Ia menggendong Seokjin ke kamarnya, mengungkung Seokjin yang kini terlentang cantik di ranjang miliknya. Namjoon menyudahi ciuman panjang mereka, menatap wajah merah Seokjin terang-terangan.
"Indah."

Ia menciumi wajah Seokjin tanpa henti membuat si empunya tertawa kecil. Seokjin mengalungkan lagi tangannya di leher Namjoon.
"Apakah kita akan menuju tahap selanjutnya?"

Namjoon menggesekkan hidungnya pada hidung Seokjin. "Tentu saja."

"Bukannya stok kondommu sudah habis?"

"Aku sudah beli lagi."

Seokjin menyatukan alisnya. Menjauhkan wajah Namjoon. "Kapan???"

"Minggu lalu?" jawab Namjoon yang terdengar seperti pertanyaan. "Ya, sepertinya minggu lalu. Saat aku menemani Ibu belanja."

"Kau membelinya bersama Ibu?!"

Namjoon mencium Seokjin gemas.
"Tidak, saat Ibu sibuk menawar pakaian, aku berlari ke supermarket untuk membelinya."

Seokjin menggelengkan kepalanya.
"Benar-benar..."

Namjoon menurunkan suhu di kamarnya, lalu mulai memanaskan lagi tensi di antara mereka. Seokjin sudah menanggalkan celananya, dan kini Namjoon menarik bajunya dalam sekali hentakan. Hanya tersisa satu kain berwarna putihㅡyang sudah basah di bawah sana. Tepat saat Namjoon ingin menariknya, suara milik Tinashee terdengar kencang. Seokjin tahu itu nada dering milik Namjoon.
"Shit."

Walaupun sudah keras, Namjoon tetap meninggalkan Seokjin dan mengambil ponselnya yang berada di sofa. Di ruang tamu. Dia memiliki sesuatu di masa lalu yang membuatnya berjanji untuk selalu mengangkat telepon, kapapun, di manapun.

"Ya, Ibu?"
Namjoon menutup pintu kamarnya, duduk di pinggir ranjang. Seokjin yang kini menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut hanya terdiam seraya menatap Namjoon.

"Ke sini?"

"..."

"Sekarang?!"

"..."

"Hmmmm, baik."

"..."

"Iyaaaa, Ibu."

"..."

"Oke kutunggu."

Namjoon menaruh ponselnya di nakas. Menatap Seokjin dengan wajah sebal. "Sepertinya tahap selanjutnya harus kita delay."

"Kenapa?"

"Ibuku dalam perjalanan ke siniㅡ"

Seokjin panik, duduk. "Ya! Aku harus pergi kalau begitu!"

"ㅡdengan ayahmu."

Alisnya menyatu.
"Dengan ayahku?"

"Ya, membicarakan rencana pernikahan mereka."

"Tetap saja aku harus pergi? Apa kata mereka kalau tahu aku selama ini tinggal di sini?"

Namjoon menggenggam jemari Seokjin.
"Hey, mereka tahu kita teman dekat, akan terlihat wajar kalau aku bilang kau menginap di sini."

Sesuatu yang besar seperti menyadarkan Seokjin. Membawanya jatuh ke dasar yang paling dalam. Dilahap oleh sesuatu yang bernama kenyataan.

Teman.

Dekat.

Wajar.

Seokjin ingin tertawa kencang sampai menangis. Namun ia bahkan ragu bila air matanya bisa keluar saat ini. Terlalu menyakitkan ditusuk ratusan samurai berbentuk kenyataan dalam satu waktu.

Kenyataan bahwa ia dan Namjoon hanya sebatas teman.
Kenyataan bahwa Ayahnya dan Ibu Namjoon akan segera menikah.
Kenyataan bahwa ia dan Namjoon akan menjadi saudara.
Kenyataan bahwa ia dan Namjoon tidak mempunyai masa depan.
Kenyataan bahwa ia dan Namjoon tidak akan pernah bisa berhasil.
Kenyataan bahwa ia sangat amat mencintai Namjoon.
Dan kenyataan bahwa Namjoon juga mencintainya.

Dadanya seperti terlindas truk bermuatan ribuan besi. Seokjin tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Seseorang, siapapun, bisakah tolong Seokjin keluar dari jurang gelap ini?

*

"....but my friends won't love me like you."

*

AN: 3:09am... gak tau deh aku nulis apa T_T gak bisa tidur, kangen namjin, kangen nulis. hiks. maaf ya kalo jelek dan maaf juga karna jarang update T_T untuk yang udah komen di chapter sebelumnyaaaa, makasih banyaak! aku tampung dulu saran-sarannya ya HEHEHEHE. dan buat siapapun yang masih baca works ini, aku sayang kalian bgt bgt !!!!!! 💖 sampai ketemu lagi !!! 💖

• quiescent Where stories live. Discover now