BAB 35: Ikrar

31.5K 1K 192
                                    

Selamat membaca 😊

Jangan lupa play mulmednya dibagian akhir ya! ^_^

***

Apa yang paling menakutkan selain mimpi buruk? Terbangun dari tidur dan kembali pada kenyataan yang menyakitkan.

Seperti malam-malam sebelumnya, Ibram akan terbangun dengan napas memburu dan mata yang terbelalak. Wajahnya kembali basah. Bukan karena air wudhu yang membasahi wajah selepas bersuci, tetapi air mata yang deras merembah karena rasa kehilangan yang terus memeluk diri.

Air mata yang jatuh kali ini, lagi-lagi karena perpisahannya dengan Moira yang begitu cepat. Rasanya baru sekejap Ibram merasakan hangatnya pelukan Moira, teduhnya tatapan Moira, lembutnya belaian tangan Moira, dan ... tulusnya cinta Moira.

Semua itu benar-benar baru sekejap, seperti indahnya senja yang harus ditenggelamkan oleh kegelapan malam. Bahkan, rasa-rasanya Ibram tidak pernah memberikan hal-hal yang Moira lakukan tersebut.

Aku mencintaimu ... adalah hal yang belum pernah telinga Moira dengar, belum pernah bibir Ibram lafalkan.

Dulu, kata tersebut begitu tabu, sebab Ibram berpikir bahwa kata cinta tanpa pembuktian adalah bohong. Namun, setelah kepergian Moira, pembuktian tanpa kata cinta adalah kosong.

Seharusnya Ibram mengatakan itu setiap malam sambil memeluk tubuh Moira. Kini yang tersisa hanya sunyi, Ibram hanya bisa memeluknya dalam kenangan, dalam bayang yang membuat perasaannya karam.

Tangan Ibram tidak diam. Kepalan tangannya memukul-mukul dadanya dengan cukup keras, rasanya ada yang mengganjal. Sesak dan memuakan.

Semakin hari bukan semakin melupakan, tetapi sebaliknya. Ibram malah semakin teringat akan Moira, semakin merasakan betapa besar cintanya. Tanpa sadar, Ibram sudah mencintai Moira dengan dalam, sehingga kini saat kehilangan, dia tenggelam.

Cinta yang menyakitkan itu bukan saat tak terbalas, namun saat tak tersampaikan.

***

Bunda menatap Ibram dengan nanar. Ia tahu bagaimana rasanya kehilangan, tetapi ia tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjadi Ibram yang kehilangan belahan jiwanya.

Yang Ibram lakukan selama seminggu ke belakang, hanya termenung bersama dukanya yang terus menggunung. Tak ada aktivitas lain yang dilakukan pria itu, bahkan selama itu pula ia absen dari pekerjaannya.

"Ibram...," panggil Bunda lembut seraya ikut terduduk di samping Ibram di gazebo yang berhadapan dengan kolam renang.

Ibram mendengar dan sadar akan kehadiran Bunda, tetapi ia terlalu hanyut dalam lamunannya sehingga rasanya untuk menggerakan bibir barang sebentar saja ia tak mampu. Maka yang dilakukannya hanya menghela napas panjang. Bunda ikut menatap kolam renang seperti yang dilakukan Ibram.

Melihat air itu menyenangkan, membuat Ibram mengenang. Ibram seperti melihat Moira di sana. Moira itu seperti air, lembut namun sulit dihancurkan. Teringat, betapa dulu dia begitu menyakiti wanitanya, tetapi dengan egois wanita itu bersikukuh ingin mempertahankan rumah tangganya.

Demi Allah, teringat itu Ibram kembali merasakan dadanya yang begitu sesak. Beginikah dulu yang Moira rasakan?

"Ibram...." Bunda kembali bersuara, dan Ibram kembali tak menjawab. "Saat terpuruk, kita hanya punya dua pilihan. Pertama, tenggelam lebih dalam. Kedua, berenang ke permukaan. Kamu pilih yang mana?"

Hening. Bunda dengan sabar menunggu pergerakan bibir putranya itu. Kini, pandangan Bunda tak lagi tertuju pada kolam renang, tetapi kepada wajah Ibram yang kelam. Mati-matian Bunda menahan tangisnya agar tidak pecah. Selain, berduka kehilangan Moira dan Mafaza, Bunda juga sesungguhnya berduka karena kehilangan Ibram.

IKRARWhere stories live. Discover now