BAB 31: Nanap

15.7K 644 60
                                    

*Nanap = Terkejut

***

Selamat membaca :)

***

Apapun yang tersemat dalam nalar, semoga tak membuat nurani sesat. Apapun yang tersorot dalam netra, semoga tak membuat hati surut.

Harapnya hanya satu; semoga yang terlihat hanya ilusi yang mengolok-olok netra dan hati. Tetapi... Moira tak mau menjadi munafik, bahwasanya saat ini yang terpancar dari mata Ibram bukanlah sesuatu yang pantas disebut ilusi melainkan konsepsi hati Moira yang terealisasi.

Tubuh Moira kian tegak untuk berdiri dengan benar bersamaan dengan tangan Ibram yang menutup wajahnya.

Apakah hanya Moira yang satu-satunya menginginkan nyawa ini di dalam perutnya? Tentu tidak, orangtua Ibram menginginkannya juga, bahkan mereka tampak bahagia kala Moira memberi tahunya tempo hari. Namun, hal itu tak cukup membuat Moira senang, sebab Ibram-lah satu-satunya orang yang Moira inginkan untuk merasa bahagia kala mendengar berita kehamilannya.

Wajah Moira melengos dan air matanya merembah tatkala terdengar suara isakan yang tidak sengaja lolos dari prianya. Suaranya terdengar pilu menyayat kalbu. Ini adalah darah dagingnya sendiri, namun mengapa ia menampik kehadirannya? Bahkan, hingga membuat air matanya terjatuh. Sebegitu enggannya ia menerima?

Moira memang pernah berharap kemarin dulu ketika ia mengabarkan kehamilannya pada Ibram, prianya itu akan menangis karena saking bahagianya. Namun, realitasnya sungguh ironi.

Moira membekap mulutnya segera kala tangisnya mulai pecah. Ia tak mau terlihat begitu menyedihkan karena faktanya tengah mengandung seorang anak yang tidak diinginkan. Sebelah tangannya yang bebas, kini mengelus perutnya yang masih datar. Iba pada calon anaknya.

Nak, cukup Mama saja yang tidak punya orangtua.

Tidak ada satu pun orangtua yang menginginkan anaknya memliki nasib yang sama seperti orangtuanya. Yang diinginkan orangtua di dunia ini, kehidupan anaknya harus lebih baik, semua keinginannya terpenuhi, bahkan dunia seisinya pun akan orangtua berikan andaikata mampu. Tetapi, manakala anak Moira kelak menginginkan kasih sayang dari papanya, sanggupkah Moira turuti? Sedang ketika dalam perut pun tak ia dapatkan.

Na'udzubillahi min dzalik.

Tangis Moira yang semula sunyi kini bernyanyi karena tak kuat membayangkan yang bakal terjadi, meski hal itu mungkin saja tak terjadi.

"Kenapa kamu nangis?" Mata merah Ibram menyorot Moira dengan tatapan khawatir bercampur penasaran. Pipinya yang basah, ia keringkan segera dengan punggung tangannya.

Moira tak langsung menjawab, tenggorokannya terasa terganjal kepedihan yang amat dalam hingga membuatnya tak bisa bersuara. Bahkan, saat ini perutnya terasa keram, seolah yang di dalam sana pun ikut terluka.

"Moira," panggil Ibram yang kembali bersuara sebab Moira tak kunjung merespons, sementara tangisnya terus terurai.

Moira terus menangis tak mengindahkan panggilan Ibram yang berulang. Ibram yang tak sabaran akhirnya menarik tangan Moira dengan kasar hingga perut Moira nyaris kembali terbentur pada pinggiran ranjang. Untung saja tangan Moira dengan cepat menyambar pinggiran ranjang untuk menahan tubuhnya.

"Ma-maaf, aku tidak sengaja," kata Ibram panik.

Moira masih terkesiap dengan mata lebar terbuka dan mulut menganga. Detik berikutnya tangan Moira yang menahan pada ranjang berpindah untuk mengelus dadanya sendiri. Sedang tangisnya dipaksa berhenti.

"Mas Ibram kalau enggak mau anak ini bukan begitu caranya!" hardik Moira akhirnya.

"Ngomong apa sih kamu?!" balas Ibram dengan suara tinggi, matanya menyorot Moira tajam.

IKRARWhere stories live. Discover now