BAB 5: Beralih

17.8K 922 27
                                    

Selamat Membaca 😊

۞۞۞

Sehari sudah tanpa Ayah di sisi Moira. Tak ada lagi nasihat Ayah yang menenangkan, tak ada lagi seloroh Ayah yang menyenangkan. Semua sudah sirna terkubur tanah merah.

Abu Bakar bagi Moira, bukan hanya sebagai ayah, beliau juga berperan sebagai ibu Moira. Sepuluh tahun lalu, Ibu Moira meninggal dunia sebab kecelakaan maut sehabis pulang mengajar dari sekolah. Mungkin kala itu Moira juga menangis, tapi tak sesakit sekarang.

Ayah, walau engkau sudah tiada ditelan tanah. Tapi, baktiku takkan hilang terkubur masa hingga kita bertemu di jannah. Doaku akan selalu menyertaimu.

Kehilangan sosok yang selama ini menemani selama hidupnya, tentu tak mudah bagi Moira. Sosok Ayah seperti masih hadir di rumah ini. Seperti pagi ini, berulang kali Moira lupa hingga membuatnya kembali meneteskan air mata.

"Ayah, enggak lupa bawa anduk 'kan?" teriaknya kala mendengar suara seseorang yang tengah mandi. Sejurus kemudian air matanya turun tatkala mendapati yang tengah mandi itu bukan Ayah, melainkan suaminya, Ibram.

Lalu tak berhenti di situ. Moira terus saja teringat kebiasaan-kebiasaan ayahnya.

"Ayah, kopinya sudah siap di meja makan." Detik berikutnya Moira beristighfar sambil memegang dadanya, seperti menahan sebuah beton di sana. Begitu berat. Isaknya kembali terdengar.

"Moira," panggil Ibram pelan. Moira segera menghapus air matanya dengan cepat. "Kemari," pinta Ibram.

Moira menghampiri Ibram yang berada di ambang pintu kamarnya. Semalam pria itu tidur di sana, sementara Moira tidur di kamar Ayah atas keinginannya.

"Iya, Mas," jawab Moira parau setelah tubuhnya berdiri di hadapan Ibram

"Ayo kita pindah."

"Kenapa? Ayah 'kan baru berpulang kemarin?" Suara Moira terdengar lebih tinggi dari sebelumnya. Tentu saja, bagaimana bisa suaminya berpikiran seperti itu.

"Justru itu. Aku tidak bisa melihat kamu terus-terusan seperti tadi," jelas Ibram seraya memegang kedua lengan Moira. Mendapatkan sentuhan itu sedikit membuat Moira terkaget. "Memangnya kamu tidak kasian ke Ayah? Kamu pikir dengan kamu menangis Ayah bakal senang di sana?

"Memang tangisanmu itu tidak dilarang, tapi kalau sampai membuatmu terus meratap seperti ini 'kan juga tidak baik. Aku mengajakmu pindah bukan bermaksud agar kamu melupakan Ayahmu, aku hanya mencoba membuatmu tak seperti ini lagi, tak meratapi kepergian Ayahmu." Moira terpaku mendengar penuturan Ibram. baru kali ini ia mendengar Ibram berbicara sepanjang itu.

"Tapi gimana tahlilan Ayah?" tanya Moira yang teringat masih ada tahlilan Ayah untuk 7 hari ke depan.

"Kita bisa tahlil di rumah Bunda atau di rumah kita nanti," terang Ibram yang membuat hati Moira bergetar ketika mendengar kata 'rumah kita'. Sejenak ia lupa atas kesedihannya.

"Apa enggak nunggu sampai 40 hari Ayah aja?" tanya Moira lagi, hatinya seperti berat meninggalkan rumah ini. Begitu banyak kenangan di sini.

Ibram menghembuskan nafasnya berat seraya bersedekap, matanya menatap Moira dengan tatapan tak terdefiniskan.

Mendapati tatapan seperti itu membuat Moira takut. Kepalanya sedikit ia tundukan, tetapi matanya masih terpaku pada tubuh jangkung Ibram di hadapannya. "Ya-yasudah." Moira mengalah dengan berat hati. Bak rol film, dalam pikirannya berputar mengingat potongan nasihat Ayah dalam mimpinya.

"Apabila Moira taat kepadanya, cahaya itu yang akan Moira dapat...."

Moira memejamkan matanya, kepalanya ia gelengkan kuat-kuat hingga membuat Ibram khawatir.

IKRARDonde viven las historias. Descúbrelo ahora