BAB 18: Senyap-Senyap Melangah

14.7K 822 49
                                    

Jika berkenan sila masukan cerita ini ke perpustakaan, vote, komen, dan share *hilih sleding juga niih banyak maunya hihi*

Untuk yang sudah menunggu mohon maaf ya baru bisa publikasi sekarang, sebenarnya mau dipublikasi dari tadi sore tapi qadarullah file-nya tidak tersimpan saat latop tiba-tiba minta restart *sakit tapi tidak berdarah T_T*

Mohon maaf jadi bawel begini hihi langsung saja cuuuus.

Selamat membaca 😊

🌹🌹🌹

Marah. Kesal. Kecewa.

Tiga kata yang pas untuk menjelaskan perasaan Moira saat ini. Hatinya seperti dihujani ribuan belati, menyakitkan. Dadanya begitu sesak, napasnya terasa terhimpit. Ibram dan Anindira sukses buatnya demikian.

Berulang kali Moira ingatkan sang sopir taksi untuk memacu kendaraannya lebih cepat. Moira ingin segera tiba di rumahnya, sebab sudah tak kuat menahan tangisnya yang meronta ingin diluapkan.

Tiba di rumah, kakinya menyentak untuk segera ke kamar. Tubuhnya ia hempaskan ke petiduran dengan posisi menelungkup bersamaan dengan air mata yang keluar dengan deras.

Disenyapnya malam, suara tangis Moira menggema. Bahunya terguncang hebat. Harusnya rasa sakit ini sudah terbiasa, tetapi mengapa lagi-lagi membuatnya binasa.

Nuraninya bertanya perasaan sakit ini apakah sebatas kecewanya seorang istri karena sang suami lebih memilih menenangkan wanita lain ataukah persaaan... cinta yang dikecewakan.

Perbuatan manis Ibram yang lalu bagai asap rokok yang membuai penghisapnya lalu memubunuhnya secara perlahan. Begitulah Moira yang ciptakan angannya sendiri, sedang hati Ibram tak bisa diganggu gugat hanya untuk Anindira seorang diri.

Berharap banyak artinya tersakiti dengan banyak.

Moira sadar−amat tersadar bahwasanya harapannya kemarin hanya sebuah mimpi indah di siang bolong.

***

"Mama," lirih Anindira sambil mengusap lengan sang mama dengan lembut.

Mama Anindira tengah terbaring dengan lemah setelah mendapatkan pertolongan dari tenaga medis. Wanita paruh baya itu tiba-tiba mendapatkan serangan jantung kala tengah menyesap secangkir kopi. Beruntung Anindira tengah berada di sampingnya, dengan sigap putrinya tersebut menghubungi rumah sakit meminta bantuan dan memaksanya menelan aspirin sebagai pertolongan pertama.

Hati Anindira sedikit lega, orang satu-satunya yang tersisa di dalam hidupnya masih dapat menghirup oksigen.

"Ibram." Bukan menyahuti Anindira, wanita paruh baya itu memanggil Ibram dengan lemah, setelah melihat keberadaan pria itu yang berada di belakang Anindira.

Ibram menggerakan tubuhnya agar mendekat ke ranjang pasien. "Iya, Tante," sahutnya.

Mama Anindira tersenyum lemah. Hati kecil tertawa bahagia sebab melihat pria yang selalu menemani putrinya dikeadaan terpuruk sekalipun itu, kini juga hadir di tengah-tengah keadaannya yang antara hidup dan mati.

Tangan Mama Anindira terangkat lemah hendak meraih tangan Ibram. "Kamu lihat kondisi Tante, 'kan?"

Ibram mengangguk sambil menggenggam tangan yang tadi meraihnya.

"Tante ingin kamu segera tepati janjimu," ucapnya penuh harap yang membuat Ibram sedikit mengerutkan keningnya.

"Ja-janji?"

IKRARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang