BAB 26: Ganjil

13.8K 667 42
                                    

Ibram kembali pukul 11 malam dengan perasaan cemas. Pasalnya, selepas Ibram meninggalkan Moira di mal pria itu tak bisa menghubunginya. Bahkan, pesannya pun tidak dibalas. Tetapi, Ibram sadar diri adalah wajar bila Moira bersikap demikian. Memangnya siapa yang bakal tidak marah jika diperlakukan begitu?

Selepas membersihkan tubuh di kamarnya yang dulu, Ibram bergegas ke kamar Moira.

Ibram membuka pelan pintu kamar Moira. Dahinya mengernyit kala gelap ditangkap matanya. Tak biasanya Moira mematikan lampu, gadis itu phobia gelap. Namun, tak ada tanda-tanda ketakutan yang Ibram tangkap. Kamar ini sunyi, bahkan dengkuran Moira pun tak terdengar−jika gadis itu sudah tidur.

Pelan sekali Ibram melangkahkan kakinya, takut menganggu singa yang tidur itu. Singkatnya, Ibram tak mau ada keributan dulu malam ini tubuhnya begitu lelah setelah dipaksa lembur hari ini. Ralat. Pria itu 'kan memang selalu demikian, selalu meninggalkan masalah seolah tak pernah terjadi apapun.

Sebelum berbaring, Ibram memutuskan menyalakan lampu tidur yang berada di atas nakas dekat dengan Moira. Hati-hati sekali pria itu meraba takut menganggu tidur pulas istrinya. Rasanya kurang afdol jika tidak melihat wajah Moira terlebih dulu.

Kadang takdir selucu itu. Dulu wajah itu yang mati-matian ingin ia singkirkan, tetapi lihatlah sekarang, wajah itu harus menjadi pengantar tidurnya.

Ibram tersenyum kecil saat cahaya temaram menyinari wajah damai Moira. Istrinya itu sedang tidur terlentang, membuat Ibram tertarik mendekat untuk bertemu dengan bibir Moira. Sejengkal lagi untuk menunaikan hasrat Ibram secara tiba-tiba kedua mata Moira terbuka dengan lebar. Hal itu sontak membuat Ibram menyentakkan tubuhnya hingga terduduk dengan perasaan kaget bukan main. Kejadian tersebut mirip adegan dalam film horror di mana tubuh orang yang meninggal tiba-tiba terbangun kembali.

"Kamu belum tidur?" tanya Ibram setengah memekik dengan dada kembang kempis. "Kamu mengagetkanku." Kali ini suara Ibram sudah kembali normal.

"Enggak seberapa dibandingkan dengan kagetnya ditinggalin begitu aja," balas Moira sambil membangunkan tubuhnya.

Asik rebut, nih. Padahal mata sudah ngantuk berat!

"Moira, aku juga tidak akan meninggalkanmu kalau keadaan tidak mendesak." Ibram berusaha menjelaskan meski telinga Moira sama sekali tidak mendengar kesungguhan dari prianya itu. Suaranya datar seperti biasa.

"Moira memang selalu dijadikan pilihan, bukan tujuan," gumam Moira dengan suara lemah.

"Bukan begitu," desah Ibram. "Kamu harus mengerti pekerjaanku."

Tak ada jawaban dari Moira. Otaknya sedang bekerja. Dalam keadaan seperti ini, siapa yang seharusnya mengerti siapa?

"Kalau kamu berpikir lembur ini hanya aku dan Tina, kamu salah," terang Ibram menebak kemarahan Moira selain karena ditinggalkannya begitu saja. "Aku bekerja tim, perlu aku tunjukkan?!"

Ibram sedang berusaha mengeluarkan ponsel dari saku baju tidurnya. Ia membuka whatsapp dan menunjukkan status milik Arif yang kebetulan sekali mendokumentasikan disela-sela kesibukan mereka tadi dengan mengambil gambar saat makan malam.

Ibram menggeser tubuhnya merapat pada Moira dan menujukkan ponselnya di depan wajah Moira yang sedang menunduk. Moira buru-buru menyingkirkan ponsel itu dari wajahnya karena merasa terganggu akibat cahaya yang membuat matanya seketika menyipit dan perih.

Terdengar Ibram mendecak. "Aku harus tunjukan apalagi supaya kamu percaya dan tidak marah lagi?!"

"Moira bukan marah, cuman perih disodorin hape di depan muka deket banget gitu," protes Moira.

IKRARTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang