BAB 13: Lunturnya Izah

15.6K 765 40
                                    

Ambil yang baik, buang yang buruk. Selamat membaca 😊

۞۞۞

Moira bersedih, ia ingin menangis, ingin berteriak, ingin protes, dan lari dari situasi keji ini, tapi batinnya berteriak jangan.

Apa yang harus disesalkan? Sedang inilah perjanjiannya dengan Allah sebelum ruhnya ditiupkan.

Moira merintih menahan laranya dalam pagutan Ibram. Tangannya mencengkram bahu Ibram yang terbuka, kuku-kukunya yang panjang menancap sempurna seolah sedang menyalurkan rasa sakitnya kepada pria itu.

Kuku Moira yang menancap di bahu Ibram mungkin tak seberapa dengan rasa sakit sukma dan raganya.

Bukan. Bukan seperti ini yang Moira inginkan. Inginnya Ibram melakukannya atas dasar cinta bukan karena sebuah tujuan yang ingin digapai olehnya.

Izahnya sebagai seorang istri luntur diguyur keegoisian suami karena ingin memiliki wanita lain. Sungguh ironi.

Permintaannya perihal anak hanya sebuah usaha untuk mempertahankan Ibram. Segala sesuatu memang sudah ada kadarnya, tetapi jangan sampai berusaha sekadarnya. Tentu Moira tidak mau hanya menerima dengan ikhlas dirinya dimadu sang suami, sedang poligaminya tak sesuai dengan syariat.

Moira hanya ingin mengulur waktu, semoga semesta kali ini memihaknya. Moira tentu ingin dapatkan surga, tetapi bukan surga yang seperti ini.

***

Moira menatap pantulan dirinya dalam cermin. Terlihat matanya sembap dan wajahnya terbungkus kulit yang pucat kesi. Tak ada semburat merah bersih di ujung hidungnya lagi. Kemudian otot-otot wajahnya tertarik menciptakan sebuah senyuman getir.

Aku hanya seorang wayang yang memainkan naskah dalang. Walau lakonku malang hatiku harus lapang, agar pada akhirnya aku menang.

Suara erangan seorang pria menyentakan tubuh kecil Moira. Tubuhnya tertarik dari cermin. Saat ini ia tengah berdiri canggung kala melihat dengan ekor matanya seorang pria yang tengah merentangkan tangannya dengan mata setengah terbuka.

Sejurus kemudian pipinya merasa panas. Ia merutuk dalam hati, menghakimi tubuhnya yang bersikap demikian.

"Jam berapa ini? Kenapa kamu gak bangunkan aku?" kata Ibram setelah mendaptakan seratus persen kesadarannya. Matanya menyipit kala melihat Moira yang sudah rapi dengan gamis berwarna dusty pink dan khimar panjang dengan warna senada.

"I-itu...." Jantung Moira berdegup tak karuan hingga membuatnya tidak focus. "Mo-Moira... ba-baru... mau bangunkan."

Ibram berdecak. Saat ini sudah pukul setengah 6 lebih baik dirinya cepat-cepat bergegas ke kamarnya dan bersuci, sehabis itu tunaikan shalat subuh. Mereka berdua sepertinya kesiangan, mungkin ini karena semalam... ah Ibram tak mau mengingatnya. Tiba-tiba hatinya jadi berdesir.

Moira mendengar langkah kaki Ibram yang keluar kamarnya, tetapi dirinya tidak berani melihat. Mendengar deru napasnya saja sudah mampu membuat jantungnya berdegup sekuat tenaga kuda, apalagi melihat wujudnya.

Moira mengatur napasnya, ia menarik lalu mengeluarkannya kembali mencoba menetralkan emosinya. Uh, tubuhnya sungguh merespons berlebihan. Daripada berdiam diri yang malah membuatnya terus mengingat, lebih baik ia turun ke bawah lalu memasak untuk sarapan pagi.

Mengenai tugasnya yang sudah genap, tak berarti membuatnya menjadi lega. Tentu Ibram masih dengan rencananya yang ingin menikah lagi dengan Anindira. Tetapi 'kan itu hanya sebuah rencana, bisa terjadi pun bisa tidak. Lalu, saat ini ia sedang mengusahakan agar tidak terjadi walau dengan topeng sebuah permintaan soal anak.

IKRARKde žijí příběhy. Začni objevovat