BAB 32: Renyang

15.5K 659 32
                                    

*Renyang = Resah

***

Alhamdulillah, akhirnya bisa update!  Terima kasih yang sudah menunggu, kusenang kalau ada yang nanyain kapan ikrar update^_^ Terhura juga ikrar bisa masuk peringkat 7 dan 5 di spiritual T_T Semua ini berkat kalian! big hug! love you!

***

Selamat membaca 😊

***

Harap menjadi satu-satunya perisai ketika risau tak kunjung usai. Tak hentinya mulut dan hati mengudarakan pinta agar Sang Kuasa berikan bantuan. Pergi ke dokter adalah salah satu jalan pintas untuk menjemput bantuan-Nya.

Derasnya darah yang mengalir, sama dengan derasnya air mata Moira yang berderai.

Sepanjang jalan Moira menangis ketakutan, sementara Ibram yang tak mau membuat Moira semakin renyang, hanya mampu menguatkan. Meski dalam hati, ia diselimuti kabut kekhawatiran. Merupakan kali pertama mereka hadapi ini, maka adalah wajar untuk merasa demikian.

Tiada orangtua didekatnya menjadi salah satu faktor yang membuat keadaan kian keruh. Sedang Nadin, tampak tak acuh seolah tidak terjadi apa-apa. Ia begitu apatis, sebagai calon dokter, hatinya sungguh tak tergerak barang sedikit pun.

Harap-harap cemas, Ibram dan Moira menunggu pergerakan mulut sang dokter. Kacamata dengan frame berwarna coklat milik dokter tersebut, ia benarkan dengan mata yang tetap focus pada layar monitor. Kain tudung berwarna merah muda yang dikenakannya kemudian ia betulkan dengan menarik sedikit ke belakang pada bagian puncak kepalanya.

"Alhamdulillah, janinnya baik-baik saja."

Luruh sudah segala jenis perasaan dan sangkaan yang tak mengenakan hati Ibram dan Moira.

Ibram tak bisa untuk menahan rasa lega bercampur senang yang membuncah dalam dadanya, maka ia cium kening Moira lama sekali seolah tengah membagi apa yang sedang ia rasakan pada Moira lewat aksinya itu. Sang dokter yang terabaikan hanya bisa tersenyum dengan wajahnya yang sudah mulai terlihat garis-garis halus. Begitu pun dengan suster yang tengah tersenyum malu-malu melihat suami-istri itu.

Moira berdehem. "Mas...," panggilnya dengan parau mengingatkan Ibram untuk segera jauhi keningnya.

Tersadar, Ibram sontak mengangkat kepalanya dan menghapus pipinya yang terasa basah dengan kasar. Lalu, ditatap punggung tangan miliknya yang baru saja ia gunakan untuk menghapus air yang tiba-tiba berada di pipinya tadi dengan perasaan bingung.

Apa ini? Aku menangis?

"Wajar kok, Pak. Saya tahu bagaimana perasaan calon orangtua baru seperti Bapak dan Ibu." Adalah dokter yang menjawab kebingungan Ibram dengan air matanya sendiri.

Ibram menggaruk tengkuknya yang tak gatal dan melirik Moira yang kini tengah mengulum bibir menahan senyumnya. Sekali lagi, hatinya menjadi lega kala mendung di wajah Moira kini sudah hilang.

"Apa penyebab pendarahan tersebut, Dok?" tanya Ibram.

"Plasenta previa." Dokter bernama Rahma tersebut mengucapkan dengan nada biasa, meski begitu, Ibram dan Moira menanggapinya dengan serius karena bahasa medis yang tak bisa dicerna oleh nalar awam milik mereka berdua.

"Apa itu?" Moira bertanya dengan nada sedikit cemas.

"Plasenta Ibu berada di tempat yang tidak semestinya, hampir menutupi jalan lahir. Kondisi ini sangat langka sekali ditemukan pada saat usia kandungan seperti Ibu, 15 minggu, pun pada kehamilan pertama," terangnya dengan nada bicara antara takjub dan terkejut. "Penyebabnya pun masih belum dapat dipastikan."

IKRARWhere stories live. Discover now