SRBA-47. Lepaskan

7K 606 26
                                    

"Menangis bukan berarti lemah, melepaskan bukan berarti tak mampu mempertahankan. Semuanya adalah bukti, bukti kalau kamu adalah sosok kuat untuk mengerti arti dari sebuah keikhlasan."

-SRBA-

"Kita berangkat, Ra?" tanya Hanif ketika Naura baru saja selesai memakai hijabnya.

"Iya, Mas," ucap Naura lalu segera meraih handbag nya yang sudah berada di atas kasur.

Hari-hari berlalu dengan cepat, semuanya berjalan begitu saja. Sudah seminggu semenjak kejadian menegangkan di meja hijau dilewati dan sudah lima hari semenjak Syifa, adik iparnya itu pergi kembali ke Amerika untuk melanjutkan kuliahnya.

Padahal dia masih ingin bertemu dengan Syifa, menghabiskan waktu liburnya ini dengan adik iparnya itu, karena selama Syifa liburan di Indonesia, hanya dia habiskan untuk menemani Naura menyelesaikan kasusnya itu, membuat Naura merasa bersalah karena telah membuat liburan Syifa terpakai untuk menemaninya mengurus segala keperluan di pengadilan.

Ini yang namanya liburan bermanfaat, Ra. Kalau cuma main-main aja, itu artinya liburanku sia-sia.

Itulah yang diucapkan Syifa ketika dia hendak pamit, Naura mengucapkan permintaan maaf karena telah merebut waktu libur Syifa dan ucapan terimakasih karena telah menemani dirinya melewati hari persidangan.

Liburan semester ganjil masih tersisa dua minggu lagi, tentu dua minggu kedepan dia harus memanfaatkan hari-hari tersebut dengan baik bersama Hanif, sebelum dirinya kembali disibukkan dengan tugas-tugas kuliah di semester empat.

Jika diingat kembali, Naura merasa begitu banyak kekurangannya selama menjadi istri untuk Hanif selama ini, apalagi dirinya masih mengalami masa labil yang masih berusaha untuk menjadi wanita dewasa.

Hanif begitu sabar menghadapi kelabilannya, Hanif begitu sabar menghadapi traumanya, Hanif begitu sabar memiliki istri seperti dirinya. Padahal begitu banyak kekurangan dalam dirinya, dan begitu banyak kewajiban yang belum dia lakukan untuk Hanif.

"Ge, menikah tak melulu masalah anak Ge, jangan gara-gara takut punya anak karena sibuk kuliah kita mengabaikan pahala yang Allah janjikan dengan menikah, jikapun nanti Allah mengaruniakan aku seorang anak, InsyaAllah akan ada rezeki-rezeki baik yang akan diberikan Allah agar aku dapat membagi waktu sebaik mungkin."

"_jikapun nanti Allah mengaruniakan aku seorang anak, InsyaAllah akan ada rezeki-rezeki baik yang akan diberikan Allah agar aku dapat membagi waktu sebaik mungkin."

Entah mengapa percakapan yang pernah dia ucapkan pada Gea beberapa bulan lalu berputar begitu saja dibenaknya.

Sontak Naura menoleh pada Hanif disampingnya yang tengah sibuk menyetir.

"Kenapa, Ra?" tanya Hanif ketika menyadari tatapan dari Naura.

Naura langsung menggelengkan kepalanya, dan kembali menatap ke arah jalanan. Saat ini mereka berdua akan pergi memenuhi undangan dari Fathan, karena resepsi pernikahan lelaki itu dilaksanakan hari ini. Mereka hanya bisa menghadiri acara pernikahan itu di malam hari, mengingat Hanif yang seharian ini sibuk dengan urusan kantornya.

Usapan lembut dikepala Naura membuat gadis itu menoleh kembali pada Hanif, salah satu tangan lelaki itu memegang stir kemudi dan satu tangannya lagi masih terulur mengusap kepala Naura.

"Mikirin apa?" tanya Hanif menoleh sesaat pada Naura.

"Hmm? Gak ada," ucap Naura. Tentu dia masih berpikir ulang untuk membahas hal yang saat ini menghantui pikirannya.

"Masalah kalau di bagi akan berkurang, loh Ra," ucap Hanif berusaha agar Naura mau membagi apa yang sedang dipikirkan gadis itu.

"Naura lagi gak ada masalah, Mas," ucap Naura.

Sebuah Rasa Berujung Asa [END]Where stories live. Discover now