7. Andaikan

25.1K 2.1K 42
                                    

7. Andaikan

Ilyas membuka pintu apartemennya. Waktu menunjukkan pukul satu malam dan dia baru saja pulang. Tidak perlu berpikir macam-macam, Ilyas tidak habis membuang-buang waktu dengan wanita tidak jelas atau pergi ke tempat tidak jelas, karena dia benar-benar baru pulang dari kantor. Satu fakta yang tidak bisa diganggu gugat dari pria itu, dia memang sangat gila kerja.

Ilyas menyalakan lampu ruangan yang dimatikan. Padahal sejak dulu Ilyas tidak memiliki kebiasaan mematikan lampu. Dia tidak suka apartemennya gelap. Cukup langit malam saja yang gelap.

"Mas?"

"Astaga, kamu sedang apa?"

Malaika mengusap matanya yang sedikit memerah karena tadi dia tertidur di sofa. "Mas baru pulang?"

"Kelihatannya bagaimana?"

"Alhamdulillah Mas baik-baik saja. Mas tidak mengangkat telfon. Saya takut Mas kenapa-napa."

"Saya tidak suka diganggu saat sedang bekerja."

Malaika menganggukkan kepala. Kesadarannya belum sepenuhnya kembali.

"Lain kali jangan pulang terlalu malam yah, Mas. Bahaya."

"Sudah saya bilang jangan atur-atur saya!"

"Saya hanya khawatir. Mas butuh sesuatu?"

"Tidak."

"Mau disiapkan air hangat untuk mandi?"

"Air kerannya bisa diatur hangat."

"Oh iyah, saya lupa."

Malaika menguap. Dia sangat mengantuk.

"Pergilah tidur! Saya bisa urus diri saya sendiri."

"Kalau perlu sesuatu—"

"Tidak perlu. Saya bisa melakukan semuanya sendiri."

Malaika menganggukkan kepala, lalu pamit menuju kamarnya untuk tertidur. Ilyas sendiri tidak menyangka kalau wanita itu menunggunya pulang. Untuk pertama kalinya, ada yang menunggu ia pulang ke apartemennya sampai selarut ini. Perasaan aneh macam apa ini?

***

Pagi harinya, Malaika sudah segar kembali. Ia sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Ilyas duduk di salah satu kursi sambil membaca koran. Meski begitu, Ilyas sebenarnya sesekali melirik Malaika yang terlihat sibuk dari sejak pagi buta.

Dulu, tak ada yang menyiapkan sarapan di meja makan. Ilyas selalu sarapan di kantor dengan Rafli yang selalu membelikannya. Kini, sudah ada Malaika yang membuatkannya sarapan.

"Tadi pagi Mas shalat subuh?"

Pertanyaan itu membuat Ilyas menatap jengah Malaika, namun ia tak memberikan jawaban apa-apa.

"Mas percaya surga?" Malaika bertanya kembali ketika ia baru saja terduduk.

Ilyas melipat korannya dan meletakkannya di atas meja. "Tidak perlu bicara jika tidak penting." Ia mengingatkan salah satu poin yang ditulisnya sendiri.

"Jadi bagi Mas surga tidak penting?"

Ilyas segera menatap Malaika. Ia sadar kalau telah salah bicara. Namun terlalu gengsi untuk mengakuinya. "Bukan itu maksud saya."

"Jadi Mas percaya surga?"

"Hm." Ilyas hanya bergumam sambil memperhatikan wanita yang mengambilkan makanan di piringnya.

"Mas mau masuk surga?"

"Memang siapa yang tidak mau masuk surga?"

"Mas Ilyas!"

Ilyas langsung tak terima. Terlihat dari alisnya yang berkerut.

"Buktinya Mas tidak shalat subuh."

Lalu kerutan itu hilang.

"Padahal Mas tahu kalau shalat itu tiang agama," kata Malaika, sambil meletakkan piring berisi roti yang sudah dioles selai ke hadapan Ilyas.

Ilyas tidak menjawab apa-apa. Ia seperti tak mendengarkan dan memilih untuk menyeruput kopi hitamnya.

"Shalat itu salah satu tiket menuju surga."

Ilyas berdiri.

"Mas mau kemana?"

"Berangkat."

"Tapi sarapannya belum dimakan."

"Saya kenyang mendengar ceramah kamu."

Malaika menghela napasnya. Ia jadi merasa bersalah. "Saya sudah siapkan bekal untuk makan siang."

Pria yang sedang mengancingi jasnya itu menjawab kesal, "Kamu kira saya anak TK."

"Memang cuma anak TK saja yang makan siang?"

Ilyas menghela napas berat. Seumur-umur dia tidak pernah kalah bicara dengan orang lain selain kedua orang tuanya. Namun dengan Malaika, ia seringkali dibuat tidak bisa menjawab.

"Dibawa yah, Mas."

Malaika menyodorkan tote bag berisi kotak makan. Namun bukannya diambil, Ilyas malah berbalik dan berjalan menuju keluar.

Malaika lagi-lagi menghela napas. Ia letakkan bekal itu kembali ke atas meja dan menyusul Ilyas yang sudah membuka pintu.

"Hati-hati yah, Mas. Jangan pulang terlalu malam."

Jangankan menjawab, menoleh saja tidak Ilyas lakukan.

***

Jangan pulang terlalu malam. Itu kalimat yang sangat Ilyas ingat betul saat keluar dari apartemennya. Dan jangan harap kalau Ilyas menuruti ucapan itu. Nyatanya, ia malah pulang lebih larut dari hari kemarin. Pukul setengah dua dia baru sampai rumah.

Ilyas menyalakan lampu yang lagi-lagi dimatikan. Ia lupa mengingatkan Malaika untuk tidak mematikan lampunya. Lalu bibirnya menyunggingkan senyuman remeh. Ternyata hanya sehari saja Malaika menunggunya pulang. Wanita itu kini sudah menyerah. Istri yang baik apanya? Ibunya sungguh melebih-lebihkan.

Namun, ketika meletakkan jasnya di kepala sofa, ia melihat seseorang sedang berbaring di sana. Wanita ini kenapa tidur di sofa? Sudah untung diberi kamar malah tidur di sofa. Begitulah pikir Ilyas.

Ada dorongan kecil dari hati Ilyas untuk membangunkan Malaika dan menyuruhnya pindah ke kamar. Karena ia sudah pernah tertidur di sofa sampai pagi dan rasanya sangat tidak enak. Namun, nyatanya gengsi yang ia miliki lebih besar.

Setelah selesai membersihkan diri, Ilyas memilih tidur di atas ranjang empuknya yang nyaman.

Andaikan Ilyas adalah pria yang berpikiran positif dan sedikit peka, ia pasti akan menyadari kalau Malaika tidur di sofa karena ketidaksengajaan. Wanita itu ketiduran karena menunggu dirinya yang tak kunjung pulang dan tidak bisa dihubungi.

Ya, andaikan Ilyas sepeka itu.






❤❤❤

Revisi & Republish
Minggu, 6 Juni 2021

The Perfect Wife For IlyasWhere stories live. Discover now