6. Mencintai Allah

25.5K 2.2K 43
                                    

6. Mencintai Allah

Pagi ini, Malaika pergi untuk belanja bulanan. Sekitar pukul setengah tujuh dia berangkat. Dan pukul delapan dirinya sekarang sudah berdiri di depan pintu apartemen sambil mencari kartu yang merupakan kunci dari apartemen mewah tersebut. Namun sebelum berhasil menemukan kuncinya, pintu itu sudah terbuka.

Seorang pria berdiri menjulang di depannya. Ia sudah rapih dengan kemeja berdasi dan celana bahan berwarna dark grey. Sedangkan jasnya ia gantung di lengan. Lagi-lagi, Malaika terkesima dengan fisik dan rupa yang dimiliki sang suami. Namun mengingat sikap buruk Ilyas, kekagumannya menjadi tak seberapa.

"Minggir!"

"Mas mau kemana?"

Ilyas menghela napas. "Sudah saya bilang, kalau nama saya Ilyas! Yas! Bukan Mas!"

"Iyah, saya juga tahu. Kalau begitu, Mas Ilyas mau kemana?"

Ilyas menggaruk alis tebalnya. Bukan merasa gatal, melainkan kesal. Namun ia sudah tidak ada waktu untuk mempermasalahkan sebuah nama panggilan.

"Saya mau ke kantor."

"Sudah sarapan?"

"Memang kamu sudah buatkan saya sarapan?"

"Sudah. Ada di dapur."

"Harusnya kamu taruh di meja makan!"

"Saya lupa. Buru-buru pergi ke pasar."

"Begitu saja tidak becus."

Malaika menunduk. "Maaf."

"Minggir! Saya buru-buru."

Wanita itu pun segera mengambil langkah mundur untuk memberikan jalan bagi Ilyas. Ia berjanji lain kali tidak akan ceroboh lagi.

***

"Kenapa buru-buru masuk kerja? Waktu cuti Anda masih banyak."

"Apa kau lupa sesuka apa aku bekerja?"

"Tapi sekarang Anda sudah menikah."

"Pekerjaanku tetap nomor satu."

Rafli yang merupakan sekretaris sekaligus asisten pribadi Direktur Ilyas Raka Aryatama tidak lagi membuka suaranya. Ia sudah sangat mengenal Ilyas. Dan bicara banyak dengan Ilyas sama dengan menciptakan masalah. Selama ini, Ilyas hanya akan kalah berdebat jika berhadapan dengan Rosa dan Hans, yang mana adalah kedua orang tuanya.

Saat Ilyas baru saja memasuki ruangannya. Ponsel yang berada dalam saku jasnya berdering. Ada sebuah telfon masuk di sana, dan nomor yang tertera adalah nomor telfon apartemennya. Ilyas tahu siapa yang menelfon.

Panggilan pertama Ilyas tidak mengangkatnya. Lagipula apa pentingnya? Tapi setelah dipikir-pikir, ia takut terjadi sesuatu dengan apartemennya, mungkin kebakaran karena istri tidak becusnya itu. Ia pun segera menelfon balik.

"Ada apa kamu telfon saya? Saya sedang kerja."

"Assalamu'alaikum."

Ilyas malah terdiam. Ia hanya terkesima. Padahal tadi bicaranya sudah super nge-gas, tapi wanita di sana malah mengucap salam dengan suara lembutnya.

"Assalamu'alaikum, Mas."

"Iyah, wa'alaikum salam. Ada apa?"

"Saya mau minta izin."

"Izin apa?"

"Saya tidak tau harus melakukan apa di sini setelah selesai masak dan membersihkan apartemen. Jadi boleh tidak saya pergi berkunjung ke rumah adik-adik saya?"

Ilyas menghela napas. "Kamu lupa poin ke delapan?"

"Saya ingat. Boleh pergi keluar tanpa izin. Tapi saya tetap istri Mas. Saya harus mendapat ridho Mas kalau mau pergi keluar rumah. Lagipula, saya takut Mas pulang lebih dulu dari pada saya."

"Lalu kamu pikir saya akan mencari kamu? Kamu tidak pulang juga saya tidak keberatan." Ilyas mengucapkan itu tanpa beban, bahkan tanpa memikirkan perasaan Malaika.

"Yasudah, Mas. Maaf mengganggu. Assalamu'alaikum."

"Hm. Wa'alaikum salam."

***

Malaika menarik napas dalam. Meski ada rasa sesak di hatinya, namun ia masih bisa tersenyum seakan semuanya baik-baik saja. Ia pasti akan bertahan dengan segala sikap Ilyas. Memang setiap ucapan pria itu terdengar pedas. Namun Malaika tahu kalau Ilyas pasti memiliki sisi baik dalam dirinya. Malaika hanya tinggal menemukannya saja. Dan suatu hari nanti, pasti ia akan menemukannya.

Setelah memasak dan membersihkan apartemen, Malaika pergi ke rumah lamanya dimana kini ditinggali oleh adik-adiknya. Malaika tahu kalau pagi ini pasti adik-adiknya tidak ada di rumah. Ia hanya ingin berkunjung ke rumah itu dan mengingat kenangan lama bersama keluarganya.

Lalu setelah dari rumah, Malaika memutuskan untuk pergi ke rumah sakit tempat sang ibu dirawat. Ia bercerita panjang lebar dengan Ratih yang tak kunjung membuka matanya. Sesekali matanya berkaca-kaca, namun Malaika tidak menangis. Ia ingin tetap menjadi wanita tegar dan kuat seperti ibunya yang masih bertahan hingga sekarang.

"Umi, cepet sembuh, yah. Biar Umi bisa lihat suami Malaika. Umi pasti suka kalau lihat dia, soalnya Mas Ilyas ganteng. Tapi kalau Umi kenal Mas Ilyas, mungkin Umi bisa berubah pikiran. Tapi insya Allah, Malaika akan berusaha buat ngerubah Mas Ilyas. Cuma untuk sekarang, Malaika masih coba buat kenal lebih deket dan cari tahu lebih banyak tentang Mas Ilyas. Umi do'ain Malaika, yah. Semoga Malaika bisa ngerubah Mas Ilyas jadi lebih baik."

"Malaika gak berharap Mas Ilyas mencintai Malaika. Malaika cuma berharap kalau Mas Ilyas bisa mencintai Allah."





❤❤❤

Raja negatif thinking pada awalnya adalah milik Ilyas. Tapi semenjak Zul lahir ke dunia orange ini, dia pun merebut tahta Ilyas 🤣

Yang belum kena Zul, silakan baca The Sweetest Secret atau Zul, lalu Zul and Family.

Revisi & Republish
Minggu, 6 Juni 2021

The Perfect Wife For IlyasМесто, где живут истории. Откройте их для себя