eighteen ° back to square one

Mulai dari awal
                                    

"Kalau udah fix kalian berempat mau gabung bikin band, salah satunya harus ada yang jago bahasa asing. Seenggaknya bahasa Inggris lah. Trus kalian harus bisa komunikasi sama penonton dan gak nolak skinship"

Satu-satunya gadis disana ditatap.

"Selebihnya ya kalian harus bisa nyesuaiin diri. Kalo menurut gue sih lumayan, manggung semalem dapet dua juta. Terserah kalian aja. Kabarin aja ke gue kalo lo pada mau ambil job ini,"

Lengan Changbin disenggol.

"Lo gimana, Bin?"

Yang ditanya hanya mengangguk.

Setelahnya ke empat dari lima orang disana saling bertukar kontak, mengobrol singkat, dan merencanakan jadwal latihan mereka.

Changbin sungguh berterima kasih telah dipertemukan dengan Yanan kali ini. Nyatanya Tuhan memang maha adil. Banyak rencana mengejutkan yang bahkan tak sedikit pun dapat kita menduganya.

•••


° Bremen, Germany.


Dua belas hari sudah lamanya Felix meninggalkan Indonesia. Dan kini ia mulai terbiasa dengan suasana Jerman yang jujur saja sangat berbeda. Mungkin perbedaan yang sangat mencolok antara Jakarta dan Bremen membuatnya sedikit banyak dapat menyimpulkan bahwa Jerman lebih tenang.

Kota Bremen, ibukota salah satu negara bagian Bremen, Jerman barat laut. Merupakan kota yang identik dengan sungai dan pelabuhannya, tentu saja sangat bertolak belakang dengan hiruk piruk Jakarta yang sebelumnya menjadi makanan sehari-hari bagi Felix.

Dan kini, pemuda bersurai pirang tersebut tengah asik membaca sebuah buku tentang psikologi klinis di tangannya. Entah darimana Bangchan bisa mendapatkan buku ini dan memberikannya pada Felix kemarin.

 Entah darimana Bangchan bisa mendapatkan buku ini dan memberikannya pada Felix kemarin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Felix mendongak. Matanya memandang lurus. Menatap ke arah Katedral di depan, yang biasa pribumi sebut dengan Bremen Dom atau St. Petri Dom zu Bremen. Menara kembar delapan puluh sembilan meter disana terlihat kokoh. Membuat Felix kembali merasa kecil.

Kursi-kursi di sekitarnya kosong. Sore ini tidak banyak orang yang lewat di sekitar jalan itu. Membuat Felix lebih leluasa melanjutkan aktivitas membacanya.

Seorang gadis datang dan tak sengaja bersitatap dengannya. Senyuman kecil terpatri dari bibir keduanya.

"Hallo,"

"Oh- hai" jawab Felix kikuk.

"Was liest du gerade?"

"Hah? Pardon?"

Belum sempat gadis itu membalas, seorang pemuda sudah datang menghampiri. Percakapan terjadi di antara mereka. Membuat Felix menatap bingung keduanya. Sungguh, setelah ini ia akan lebih giat datang ke kelas Bahasa Jerman.

Ponselnya berdering. Panggilan masuk dari Bangchan. Tangannya dengan cepat menggeser ikon hijau di layar.

"Felix, kamu dimana?"

"Kenapa, Kak?"

"Data kamu ada yang salah pas input di form Ludwig. Kamu daftar univ mana lagi?"

"Jacobs University,"

"Oh ya udah"

"Lah trus gimana, Kak?"

"Terpaksa kita beda kampus"

"H-hah?!"

Felix dengan cepat berlari menuju halte bus terdekat. Segera pulang sebelum senja menghilang.


•••




° Jakarta, Indonesia.


Changbin mendorong pintu kamar dengan bahu kirinya. Langkahnya terseret saat berjalan menuju ranjang. Baju bagian depannya sudah basah. Sudah beberapa kali setelah ia pulang dari kerja, Changbin akan selalu mendapatkan dirinya yang muntah dan kelelahan setelah sampai di rumahnya.

Langit-langit kamar terlihat tak berwarna. Pemuda itu sengaja tak menyalakan lampu kamarnya sejak tadi. Changbin turun dari ranjangnya. Badannya merosot ke lantai.

"Changbin tolol" ucapnya mengatai dirinya sendiri. Entah bagaimana tapi Felix tidak dapat dihubungi setelah penerbangannya ke Jerman kala itu.

Kekehan pelan terdengar menggema di kamar itu. Changbin bukannya tidak waras, ia hanya sedikit gila. Ya, kau bahkan tahu sendiri 'siapa' penyebabnya.

"Maafin gue, Fel" ucap Changbin dengan sedikit tersendat.

Tangannya menjambak rambutnya dengan brutal. Badannya meringkuk di lantai setelahnya.

Satu isakan terdengar.

Changbin sedang berada di titik lemahnya. Tak tahu pada siapa lagi ia harus mencari kata-kata penenang dan rangkaian kalimat sederhana sebagai penyemangat yang sering Felix perdengarkan dulu.

Ya. Dulu.

Tubuhnya semakin meringkuk di lantai yang dingin. Mata Changbin berair sejak tadi. Helaan napas lelah terdengar menyesakkan.

Changbin merangkak menuju meja di sudut kamar. Dengan cepat tangannya meraih sebuah benda kecil di antara tumpukan buku. Badannya bersandar pada tembok putih di belakangnya setelah ia menggenggam erat benda itu.

Api kecil menyala dari pematik yang Changbin genggam di tangan kanannya. Senyuman terlihat samar dalam keadaan kamar yang redup.

"Ternyata gue sebodoh itu. Maafin gue,"

Air mata Changbin sudah lolos. Ia mengusap cepat matanya dengan ujung baju yang ia kenakan. Kakinya ia tekuk. Changbin memeluk lututnya.

"Maafin Kakak, Fel"

Dan benar. Changbin sudah jatuh.

Jatuh dalam perangkap. Yang kita tahu sebagai neraka,

-yang ia buat sendiri.

.

.

.


TBC

Kamu iya kamu, yang udah bikin aku berenti nulis di tengah-tengah gara-gara mewek dulu.

Nyebelin. Tapi aku sayang.

🐅🐅🐅

PURZELBAUM [Changlix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang