sixteen ° jawbreaker

3K 680 206
                                    

[ note : tw // self harm ]

.

.

.




Jakarta selalu padat. Langit biru tertutup kabut— bentuk kamuflase dari polusi kendaraan yang tiada hentinya. Felix menatap lekat awan di langit. Sirus, adalah salah satu favoritnya. Ia ingin seperti sirus. Samar, tidak mencolok, tapi dapat melambung tinggi. Tapi ekspektasi selalu lebih indah. Nyatanya? Lee Felix bukanlah manusia yang terlahir tanpa cela.

Sayup-sayup terdengar bunyi klakson bersautan saat traffic light berubah hijau.
Bangchan di sampingnya masih fokus menyetir tanpa suara. Felix memandang layar laptop yang masih terbuka sejak tadi di atas pangkuannya.

"Ada korek gak, Kak?"

"Cemas soal apa lagi sih?" tanya Bangchan yang sudah terbiasa dengan kegiatan Felix.

Yang lebih muda tak menyahut. Tangannya sedang sibuk di papan ketik. Mengunggah berkas dan menyimpannya secara permanen pada formulir online yang sedang ia isi.

"Jerman jauh, Kak. Dapetin beasiswa gak gampang,"

Tangan Bangchan mengusap kepala Felix dengan lembut.

"Bisa kok. Tinggal belajar lebih giat lagi. Lagian Bunda kamu udah percayain semua ke kamu. Kapan lagi sih bisa ke Jerman dan masuk fakultas yang kamu mau selama ini?"

"Tapi gak segampang ngomong-"

"Kakak percaya kamu bisa,"

Ucapan Felix terhenti. Bangchan menepuk bahu Felix. Bermaksud menguatkan. Tapi tidak bagi Felix. Itu terasa seperti beban bertambah di pundaknya.

—why are they so cold?

Ibunya, Bangchan, dan banyak orang sudah memberinya dukungan. Harapan dan kepercayaan harusnya sudah membuat Felix yakin. Ia tahu ia memiliki peluang. Ia tahu mungkin ia bisa mendapatkan apa yang mereka semua katakan sebagai 'kesempatan'. Tapi,

bolehkah ia meminta untuk didengarkan?

•••

Ujian kenaikan tingkat tersisa dua hari lagi. Kampus tempat Felix berkuliah memang sedikit berbeda. Segala jenis ujian dari semua fakultas diadakan serentak. Sama seperti saat ini. Pukul 13.00 semua ujian selesai.

Felix duduk di bangku kedua dari belakang. Menyaksikan beberapa temannya yang sedang melakukan permainan dengan memutar botol bekas di tengah mereka. Truth or dare.

"Nah, Jeno!"

"Truth or dare?"

Jeno tampak berpikir.

"Truth aja dah" jawabnya.

"Halah penakut banget"

"Heh gue aja milih dare tadi" sahut Herin.

Beberapa sahutan lainnya terdengar guna meledek Jeno. Felix tertawa di tempatnya. Ia tahu semua temannya sedang menjebak Jeno yang hari ini berulang tahun.

"Rewel banget ajig. Ya udah dare lah" ucap Jeno final.

Eric mengeluarkan sebuah kotak dengan pita biru muda di atasnya.

"Karena lo pilih dare, jadi kita tantang lo buat tembak Ryujin, trus kasih kotak ini ke dia sebagai hadiahnya" ucap Sunwoo menjelaskan.

"Ryujin yang orang Bandung itu? Yang anak Sastra Indonesia?" Orang-orang yang duduk melingkar di dekat Jeno mengangguk mengiyakan.

PURZELBAUM [Changlix]Where stories live. Discover now