ten ° merged

3.9K 856 132
                                    

Suara tapakan kaki ia buat sekecil mungkin. Bocah yang belum genap berumur sembilan tahun itu terus berjalan mengendap-endap bersama dua anak lainnya. Beberapa meter lagi dan mereka akan sampai di rumah utama.

Felix merunduk kala ibu asuhnya baru saja melewati halaman belakang rumah megah itu. Mungkin dia sehabis memberi makan beberapa anak lainnya di kamar penitipan.

Jika sejak awal Felix tahu nasibnya akan seperti ini, jelas saja ia akan menolak saat kedua orang tuanya menitipkan dirinya pada orang tua asuh disini. Ya, kedua orang tua Felix memang sama-sama sibuk. Dan sialnya, keduanya harus bertugas dalam penerbangan ke Columbia secara bersamaan.

Satu bulan. Akan terasa singkat jika di tempat penitipan ini ia merasa bahagia bersama anak-anak lain. Sayangnya ekspektasi Felix terlalu simpel. Ia terlalu naif.

Suara jeritan nyaris terdengar setiap malam. Dan keesokan harinya mereka akan mendapat bekas luka lebam di sekujur tubuh. Felix salah satunya.

"Felix! Cepetan kesini!"

Felix dengan cepat mengikuti langkah kakak-kakaknya. Dahinya berkerut saat menyadari bahwa kedua orang di depannya berlari kecil menuju ruang penyimpanan bahan bakar.

"Kak-"

"Kita bakar rumah ini sekarang," sahut bocah berambut cokelat keemasan.

Anak yang paling tua segera memberikan beberapa jeriken plastik berisi minyak tanah dan bensin pada Felix.

"Sekarang kita berpencar. Aku sama Felix jalanin tugas. Jacob, kamu bilangin rencana kita ke temen-temen ya,"

Yang bernama Jacob segera mengangguk dan berlari menuju gedung belakang.

Tangan Felix ditarik paksa oleh bocah di depannya. Kemudian berjalan mengendap-endap ketika mulai memasuki rumah utama.

Felix terdiam. Wadah jeriken di kedua tangannya diambil paksa. Henry mulai menyiram sekitaran dapur dengan bensin dan minyak tanah.

"Kamu gak mau kita bebas?"

"Tapi kak, bukannya ini kriminal?" cicit Felix.

"Tau apa kamu soal kriminal?"

Henry menunjuk paha bawahnya yang dengan jelas menampakkan luka bakar. Betisnya pun lebam di kanan kirinya.

"Kamu gak liat ini?"

Felix tersentak saat baju bagian depannya disingkap. Henry menyentuh bekas luka sayatan melintang di pinggangnya.

"Bahkan kamu ngalamin sendiri, Lix."

Tangan Felix diraih. Sebuah korek api batangan ditaruh di atas telapak tangannya.

"Giliran kamu,"

Felix menatap Henry dengan ragu. Dibalas tatapan meyakinkan oleh yang lebih tua.

Pada akhirnya Felix mengeluarkan satu batang korek api dengan perlahan. Tangannya bergerak menggesekkan ujungnya hingga mengeluarkan api. Matanya terus menatap, napasnya sudah memburu.

"Sekarang!"

Dilemparnya batang korek api tadi ke lantai. Api menyambar dengan cepat bahkan hampir menyentuh ujung kaki telanjangnya.

"Good job, Felix! Sekarang kita bebas!"

Telinganya seakan menuli. Pandangan matanya terus menatap kobaran api dengan lekat. Ujung dahinya sudah berkeringat. Bahkan kakinya pun ikut gemetar hebat.

PURZELBAUM [Changlix]Where stories live. Discover now