◀MISSION 36▶

149 12 3
                                    

Hilang itu wajar. Kita hanya manusia, tidak ada hak untuk menahan sesuatu tetap ada. Udah dari sananya kita tak punya apa-apa. Sudah, jangan kecewa.

***

Sebuah harapan yang kita ingin kadang tidak datang dalam waktu yang singkat. Pun perihal ingin cepat-cepat dapat kita dituntut untuk sabar, sadar jika tidak semudah itu mimpi bisa dengan cepat kita genggam. Satu-satunya penerimaan paling tinggi adalah ketika kita hanya bisa diam jika kenyataan tidak seperti yang kita doakan.

Seperti saat ini, ketika foto itu menampilkan sosok anaknya. Gadis berumur 17 tahun yang kini berdiri di depannya belum menerangkan apa-apa, tapi sesuatu yang tiba-tiba datang dan mencekam isi kepalanya membuat dirinya harus bersikap waspada.

Karena Pak Surya belum juga bicara, Pak Birin menyela, "Apa maksud foto ini, Kayla?"

Kayla menegakkan tubuh, meyakinkan diri serta mencoba ingin membantu Pak Surya mengingat lagi. "Maaf, Pak. Beberapa waktu lalu, Pak Surya pernah berkata kepada saya untuk membuktikan jikalau di sekolah kita ada pemakai narkoba."

Pak Birin mengernyit. "Iya, tapi bukankah masalah ini sudah selesai?" Seharusnya juga begitu. "Angga sudah dikeluarkan dari sekolah ini."

Kayla menggeleng. "Selain Angga ada satu lagi seseorang pemakai narkoba, saya tau ini dari pengakuan Angga sendiri, dan ..." Pak Surya mengangkat tatapannya ke depan, menatap ragu, tapi juga mencoba untuk tetap diam. "dia perempuan."

"Lalu foto ini?"

"Sebenarnya sudah sejak lama saya melakukan pengintaian terhadap murid SMA Pradana, untuk mengetahui apakah murid di sekolah kita ada yang terlibat memakai narkoba atau tidak. Awalnya saya ragu karena saya juga yakin sekolah baik seperti ini mana mungkin ada siswa seperti itu, tapi ternyata dugaan saya salah, sekolah berpredikat bersih dari narkoba pun masih ada sisa-sisa pemakainya sendiri."

Kayla menarik foto di atas meja untuk mendekat ke arahnya. "Dan perempuan ini ... adalah salah satu incaran saya." Kayla menunggu respons dua gurunya itu, tapi yang didapat hanyalah kediaman di balik tatapan bingung. "Tidak dengan tanpa alasan saya bisa mengatakan hal seperti ini, saya berkali-kali melihat dirinya membawa sebuah plastik klip berukuran kecil dengan isi beberapa obat pil di dalamnya, saya kira itu hanyalah obat biasa, tapi kalau memang itu hanya obat biasa, kenapa berkali-kali juga saya memergoki perempuan ini berada di ruangan gelap untuk meminum obatnya, apakah tidak aneh?"

Kayla merasa bicaranya terlalu panjang, anehnya juga itu terasa melegakan. "Saya punya teman di SMA Sakti Adijaya, dia tau siapa saja komplotan Ibra, siswa SMA Sakti Adijaya yang kemarin tertangkap polisi. Saya juga mencari tau dari sana untuk meyakinkan dugaan saya benar atau salah. Ketika saya ke sana, saya mendapat ini." Kayla menunjuk foto itu. "Perempuan itu juga bergabung dalam komplotan Ibra."

"Tapi di sini hanya ada satu lelaki saja, wajahnya juga tidak terlalu jelas," sela Pak Birin.

"Lihat, Pak. Mereka berdua tampak begitu waspada ketika bertemu, lelaki ini juga terlihat sedang memberikan sesuatu," jawab Kayla, "perempuan yang ada di foto ini memang ada hubungannya dengan komplotan Ibra dan dia pemakai narkoba kedua setelah Angga." Kayla mengembuskan napas, mencoba untuk menata perkataannya agar tidak merusak hati seorang ayah. "Perempuan ini Renata Angeline."

Berbeda dengan Pak Birin yang hanya membuka mulut tak percaya, Pak Surya hanya menundukkan kepalanya tepat di atas meja. Seolah telah meruntuhkan semua pikiran beratnya dari sana.

Kayla menghela napas perlahan, ia tahu ini adalah tingkah laku yang bisa saja merusak sebuah kekeluargaan, tapi tentang tanggung jawab dan harga diri, pemimpin di depannya juga harus menepati janji.

"Saya harap, Pak Surya tidak mengingkari janji seorang kepala sekolah kepada muridnya beberapa waktu lalu di ruangan ini."

***

Punggung lebar itu masih bisa Dipta lihat ketika sedari tadi dirinya berlari mencoba mengikuti. Dari balik celah para murid di sekelilingnya, Dipta berusaha untuk tidak kehilangan jejak. Ada hal yang harus mereka bicarakan, dan bagi Dipta, itu sangat-sangat penting.

Sosok pria yang ia buntuti sedari tadi tidak berhenti berjalan. Ia terus berjalan menyusuri koridor seolah memang tak ada tujuan yang harus dihentikan, orang itu terus maju ke depan mengikuti arah koridor berada. Lalu pada ujung koridor ada sebuah tangga menuju lantai atas, Dipta masih mengikuti ketika ternyata lelaki itu berhenti di depan toilet kosong tak terpakai pada lantai 2 gedung B.

Dipta hanya bisa terdiam di tempat ketika orang itu berbalik menghadapnya. Kini ia sadar, bukan dirinya yang sedang mengikuti, tapi dirinyalah yang sedang dituntun untuk datang ke mari.

"Kenapa? Ada yang mau lo omongin?" Satria berkata santai, sambil mengusap kedua lengannya.

Dipta mengangkat satu alis. "Soal apa?"

"Soal apa itu cuma lo yang tau," balas Satria, "kenapa lo ngikutin gue?"

Dipta melangkah mendekat. Kini dirinya dan Satria hanya berjarak satu langkah. "Soal lo sama Renata."

Sebut saja Satria terkejut mendengarnya karena tarikan kepalanya ke belakang itu cukup membuat Dipta jadi lebih penasaran.

"Tumben lo urusin hubungan gue sama Renata? Kenapa? Kayla kurang?"

"Ini nggak ada hubungannya sama Kayla."

"Terus apa? Mytha? Temen lo? Farrel?" Satria terkekeh kecil, seperti sedang mengejek. "Ta, Ta. Gue kenal lo udah lama, mungkin kalo bukan masalah Felly, kita bisa temenan sampai sekarang, tapi nyatanya? Lo hancurin persahabatan kita."

"Gue nggak pernah hancurin persahabatan kita."

"Tapi itu kenyataannya! Lo rebut Felly dari gue!" Satria sepertinya mulai marah, masalah yang seharusnya tidak dibesar-besarkan mulai membuat Dipta geram.

"Harus berapa kali gue bilang sama lo, gue sama Felly nggak ada hubungan apa-apa," ujar Dipta. Hendak Satria bicara, cowok itu sudah lebih dulu menyela, "Kalau Felly-nya yang suka sama gue, apa itu salah gue? Kalau Felly nggak bisa suka sama lo, apa itu juga salah gue?"

Satria kini yang terdiam. Dipta meneruskan, "Enggak 'kan, Ya? Asal lo tau, bukan cuma lo yang marah, gue juga marah. Kenapa Felly bisa suka sama gue saat dia masih punya hubungan sama lo, gue juga marah sama diri gue sendiri. Gue nggak mau persahabatan kita hancur cuma gara-gara cewek."

Baru kali ini, setelah sekian lama, Satria mau mendengarkan perkataannya. Dipta masih bisa bersyukur, satu tangannya terangkat ke bahu Satria, meminta perhatian mata cowok itu. "Gue nggak akan pernah kasih kesempatan orang lain buat hancurin persahabatan kita, Ya."

Beberapa detik hanya keheningan yang Dipta dapatkan, yang ia sendiri artikan sebagai bentuk penerimaan Satria, tapi ternyata dugaan yang Dipta bangun tidak bisa sesempurna itu tercipta. Cowok dengan ujung seragam yang dikeluarkan itu menjauhkan bahunya dari tangan Dipta, kemudian mundur satu langkah seraya berkata, "Tapi sorry, gue udah nggak bisa."

Begitu katanya bersamaan dengan Satria yang berjalan melewatinya. Dipta tahu ia gagal mempertahankan hubungan baik dengan Satria, dengan cara yang baik dan tidak kasar, secara fisik.

Namun, mungkin ada cara lain yang harus Dipta gunakan, dan itu adalah yang terakhir. Demi pertemanan.

"Soal Renata," ujarnya sambil berbalik badan. Menyaksikan Satria yang juga berhenti di depan membelakanginya. "Lo nggak mau 'kan ikut keluar sekolah cuma gara-gara narkoba?"

Ya, lelaki bertopi hitam itu tidak asing bagi Dipta.

TBC

23 November 2019
———
Republish—22 Maret 2021.

Triangle Mission (Completed) Where stories live. Discover now