8. Society's Crush

522 75 47
                                    

AULIA WIJAYA

Aku seperti berdiri di tengah padang kutub yang beku, suasana ini amat mengasingkanku. Seolah aku mengambang dan mereka menatapku karena aku aneh. Aku, sosok kesepian di tengah salju beku dengan adegan bergerak dari orang-orang asing di sekelilingku. Ini lebay memang, kalimat ini mungkin wujud dan hasil dari kegelisahan yang aku alami.

Mereka justru menyadari kehadiranku. Sayangnya aku tak diberikan sapaan selamat datang, melainkan tatapan berbagai macam bentuk. Terima kasih, pekikku pada mereka, mendalam di relung pikiran.

Aku masih tak mempercayainya. Seminggu yang lalu, aku masih seorang gadis Jakarta dengan seragam putih abu-abu yang melekat di tubuh. Seragamku masih baru padahal, tapi rasanya momen itu sudah lama sekali. Sekarang aku seorang gadis penduduk St. Paul. Di sini, di tengah-tengah negara bagian antah berantah yang awalnya aku tak tahu keberadaannya.

Aku terus mengulang deretan fakta ini. Aku di sebuah sekolah. Hari ini hari Senin. Aku menggunakan dress rajut hitam, bukan seragam putih abu-abu. Dan ini realita. Sadar, Lia!

Biarkan mereka menatap. Biarkan mereka berbisik. Aulia gak butuh Robb sekarang. Aulia gak butuh Sebastian sekarang. Aulia gak boleh pulang dan ngadu ke Bunda. Aulia harus relax! Iya, Sebastian bilang begitu barusan.

Aku bersikap demikian sampai tiba di dalam kelas, tanganku berusaha menutup daun pintu di belakangku hingga suara riuh dan gaduh dari koridor semakin senyap. Aku mengangkat sudut kiri bibirku, mencoba tersenyum kecil agar memberi kesan sebagai sosok yang ramah. Entah itu terlihat apa tidak, tapi aku tahu betul tidak ada efeknya sama sekali pada orang-orang di dalam.

Suara Kirana dengan tips nomor tiga darinya terputar di otakku. "Remind yourself that you have a right to be there. Lia yang gue kenal itu orang yang mudah adaptasi, paling cepet dapet temen, dan selalu enjoy di manapun dia pergi. Masa gara-gara beda negara, bahasa, sama ras dia jadi cupu? Ewh! Jangan temenan sama gue lagi deh!"

"Sialan." Tapi benar juga, pikirku kala itu.

"Put yourself out there, make memories, and do fun things! Lagian pasti orang mau temenan lah sama lo, masa dari sekian ratus siswa di sana ga ada?"

Kelas belum dimulai, kursi-kursi pun belum terisi penuh. Aku berjalan melewati murid-murid lain dan menemukan meja guru.

Seorang pria muda dengan kepalanya yang botak duduk di sana, dia menggunakan kemeja kuning panjang dengan dasi warna hitam bergaris-garis warna cokelat dan kuning gading.

"Aulia Wijaya," kataku. Menyerahkan lembar jadwal yang kudapatkan dari Mrs. Jenkins.

"Saya Steve Warren," kata guru itu menyambut dengan ramah menggunakan senyum hangatnya. "Selamat datang di Highland Park, Wijaya."

Aku mengangguk, perasaanku tiba-tiba tenang. Setidaknya sampai detik ini Mr. Warren tidak terlihat seperti guru yang killer—kalau dinilai dari aura yang beliau pancarkan. Periode pertamaku punya harapan akan baik-baik saja. Beliau memberiku daftar bacaan dan artikel berbahasa Jerman yang harus kubaca. Dia juga bilang ketinggalanku sudah lumayan jauh. Great.

"Apakah kau ingin aku memperkenalkanmu dengan teman-teman di kelas ini?" tanyanya.

Aku diam, mempertimbangkan dengan berat apakah aku harus melakukannya apa tidak. Setelah mengembuskan napas panjang, aku memilih untuk mengiyakan. Aku harus berusaha untuk punya teman, mereka tak mungkin datang dengan sendirinya.

Dancing With A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang