5. The Calls and Night

721 97 74
                                    

AULIA WIJAYA

"Lia, kau mau belanja besok, kan?" tanya Robb. Kami sedang sibuk dengan salad buah buatan Bunda sebagai dessert malam ini.

Aku buru-buru ingat dengan daftar keperluanku di sini, mengingat barang yang kami bawa dari Indonesia tak banyak. Apalagi Senin nanti adalah hari pertamaku sekolah, sekolah Amerika tak punya seragam putih abu-abu seperti yang kupakai biasanya. Jadi aku memerlukan banyak pakaian lebih sekarang.

Kulihat Richard mengangguk seperti baru teringat sesuatu setelah mendengar Robb menanyaiku. "Ah iya, kau bisa pergi dengan Robb besok. Sementara aku dan Natalie mengurus berkas-berkas kependudukan kalian. Tak masalah, kan?"

Aku mengangguk mengerti. Setelah pindah kami dihadapkan dengan banyak sekali dokumen yang harus diperoleh dan diurus. Daftarnya tidak ada habisnya.

"Besok pagi kita pergi kalau begitu," atur Robb sebelum memasukkan satu sendok penuh salad ke dalam mulutnya. Dia mendesah keenakan. Aku bisa melihat dia menyukai setiap makanan yang Bunda buat sejak kedatangannya ke Bali kemarin. Kakak tiriku itu tak pernah habisnya melontarkan pujian sedari tadi. Padahal hanya salad buah.

"Pagi?" tanyaku hendak protes. Mengingat sekarang sudah jam sembilan lewat dan barang-barangku belum kukemasi sama sekali. Aku mau tidak mau pasti beres-beres setelah makan malam, entah aku bisa tidur berapa jam hari ini. Astaga, padahal bangun siang sudah jadi tradisiku setiap Minggu pagi.

Aku melihat Sebastian tertawa kecil dari sudut mataku, sepertinya dia melihat wajahku yang penuh dengan kekecawaan.

"Aku ada latihan besok sore." Robb melayangkan wajah minta maaf dari kursinya.

Aku menghela napas dan memberikan anggukan padanya. Setidaknya dia sudah begitu baik dengan menawarkan bantuan dan menemaniku pergi belanja. Dia juga tak bisa bolos latihan, kalau aku tak salah ingat Robb adalah pemain di tim football sekolah. Richard pernah bilang anaknya itu sering menjuarai pertandingan.

"It's okay, Robb," kataku.

Aku memanggil Bunda yang sedang asyik dalam percakapannya dengan Richard dan Tina. Aku kemudian memintanya untuk membangunkanku jika aku belum bangun sebelum jam tujuh. Aku tak mau dilempar alarm dari mulut Robb kalau ternyata aku kesiangan. Membayangkannya saja tak mau, dia itu pasti berisik sekali.

Seketika ponselku yang berada di atas meja berdering. Semua mata teralihkan oleh sebuah distraksi, memusatkan perhatian pada ponselku. Nama Beni muncul di layar, lengkap dengan foto wajahnya yang melengkapi icon profil panggilan itu.

Astaga, Ben.

Aku buru-buru menolak panggilan darinya, merasa tidak enak karena mengganggu makan malam kami. Walaupun aku sangat merindukan suara sahabatku itu dan tak sabar berbicara lagi dengannya, tapi aku merasa tidak sopan untuk mengangkat telfonnya. Apalagi Beni tidak akan membiarkan kami berbicara sebentar, pasti perlu waktu yang lama untuk telfonan.

Aku beralih ke aplikasi pesan dan segera mengirimkannya pesan.

You:
Sorryyyy
Lagi makan malam

"Is that Beni, Lia?" tanya Bunda padaku, aku mengangguk dan segera mengunci ponselku membuat layarnya menghitam.

"I will call him later," ujarku lalu kembali dengan salad yang belum kuhabiskan.

Lalu aku mendengar suara Tina dan tangannya yang menepuk bahuku. "Lia, aku kangen Beni."

Aku menghela napasku sebelum beralih untuk tersenyum ke adikku. "Me too, sist. Join me tomorrow, we will video-call him, okay?" Tina mengangguk dengan lugu.

Dancing With A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang