2. Minnesota, Baby

959 131 97
                                    

AULIA WIJAYA

Richard membawa kami terus melaju. Aku bisa melihat jalanan semakin ramai dan hutan-hutan mulai renggang, digantikan dengan pemandangan tepian kota pada umumnya. Kami menyaksikan kelap-kelip lampu rumah-rumah penduduk di tepi danau serta lalu lintas yang mulai ramai. Aku juga sudah menemukan pom bensin dan 7-eleven di sini. Ada banyak sekali pohon seperti pinus dan cemara, dari balik gelapnya malam aku bisa melihat semuanya mempertahankan dedaunan hijaunya yang menjarum.

Kami keluar dari jalan dua jalur dan melesat menyusuri jalan raya. Aku tak tahu apa-apa tentang Minnesota, kecuali bagian lain Amerika Serikat yang sering kulihat di film-film seperti New York, Washington ataupun Los Angeles. Tapi aku sering mendengar tentang sungai Mississippi yang membelah kota ini.

Kurasa aku cukup percaya bahwa St. Paul merupakan ibukota yang tenang. Populasinya sekitar tiga ratus ribu orang, dua kali lebih kecil dibandingkan kota ayahku lahir: Pontianak. Richard mengatakan kota ini sangat aman jadi dia tak pernah tampak khawatir jika aku berkeliaran di kota.

"Richard," panggilku.

"Yes, sweetheart?" sahutnya, pandang matanya bertemu dengan mataku lagi melalui kaca spion tengah.

"What does high school life look like?"

Sebagian masa kecil dan remajaku di Indonesia diisi dengan maraton film dan series yang menunjukan budaya remaja SMA di barat. The Duff, Easy A, Paper Towns, Riverdale, Sex Education, The Perks of Being a Wallflower, dan Gossip Girl adalah hal yang cukup dikenal untuk anak-anak seumurku dan aku tahu hal yang sama juga terjadi di SMA-SMA Indonesia. Kadang aku juga sering 'nakal' dengan teman-temanku, tapi kalau tebakanku benar mengenai lebih banyak hal negatif di sini, tak aneh jika aku merasa khawatir dengan masa SMA-ku nanti.

Hening sebentar. Richard sedang berpikir dan ternyata Bunda dan Tina juga menyimak pembicaraan kami. "It's not too bad," jawabannya seperti tahu apa maksudku.

Kemudian dia melanjutkan setelah melihat bahwa aku tidak menjawabnya, malah menunggunya menjelaskan lebih lanjut. "Aku mungkin bukan orang yang tepat untuk memberimu informasi mengenai ini, masa-masa SMA-ku sudah lewat sangaaat lama. Tapi aku yakin Robb pasti punya banyak sekali cerita dan jawaban untukmu mengingat kalian pergi ke sekolah yang sama nantinya."

Oh ya, aku hampir lupa bahwa aku punya kakak di keluarga baruku ini. Kakak tiri yang lebih tua sepuluh bulan dariku, namun Robb berada di kelas sebelas sedangkan aku melanjutkan kelas sepuluhku disini.

Sebelumnya aku sudah pernah bertemu dengan Robb musim panas lalu di Bali sewaktu kami menyelenggarakan pernikahan Bunda dan Richard. Dia sering mengajakku berbicara dan aku tahu effort-nya yang sama seperti Richard dalam mendekatiku dan Tina.

Aku ingat ada pesannya yang masuk beberapa jam yang lalu berisi "WELCOME HOME WELCOME TO MINNESOTA, LIL SISTERS LIA AND TINA🎉" yang belum sempat kubalas layaknya pesan-pesan yang lain.

Tanpa sadar aku ingin cepat-cepat bertemu dengannya.

Aku menyimak apa yang Richard katakan setelahnya. "Aku tahu aku harus memberitahu kamu semuanya tapi aku sadar bahwa it is incredibly difficult to frame the life of an American high schooler in a few sentences, Sweetheart."

Dia melanjutkan, "But, you know tidak setipikal seperti film Mean Girls, tapi pasti ada beberapa kemiripan yang jelas."

"Wah kamu juga menontonnya?" tanyaku tak percaya setelah meledak tertawa.

Richard memberikan anggukan penuh semangat padaku dan aku masih belum percaya. "I used to be an old fan of Lindsay, so..." Aku melihat dia memberikan senyum jahilnya dari kaca spion padaku seraya mengangkat kedua bahunya.

Dancing With A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang