4. O-li-ya

725 108 58
                                    

AULIA WIJAYA

"Aulia." Aku mencoba memperkenalkan diri. Pelan-pelan aku melepaskan tanganku dari genggamannya.

"O-li-ya?" Sebastian mencoba mengulang namaku dengan pelan, aksennya juga lucu. Dahinya berkerut karena sadar ucapannya sendiri salah.

Robb adalah orang yang paling keras tertawa setelahnya. "Dude, panggil saja dia Lia," sarannya sembari menepuk bahu sang teman.

"Senang bertemu denganmu, Sebastian." Aku menyengir lalu kembali ke belakang mobil. Aku mengambil salah satu kotak terkecil yang kuperkirakan mampu untuk kubawa sendiri.

Aku mendengar Tina menyapa Sebastian dan—dengan bahasa Inggrisnya yang selalu terdengar imut—si manusia kecil itu memperkenalkan dirinya. Sebastian tertawa karena tingkah menggemaskan adikku, mereka tak sempat bergurau karena Bunda sudah menghampiri Sebastian duluan.

Aku masih bisa mendengar suara bariton miliknya yang merespon Bunda sementara kotak yang kubawa ternyata sudah terestafet, direbut oleh Robb dan dibawanya ke dalam rumah.

"Nice to meet you too, Mrs. Cassidy," ucap Sebastian yang bisa kudengar, membuat bagian kecil dariku bergemuruh tak senang mendengar nama itu lagi. Buru-buru aku mengutuk diriku sendiri, aku tak boleh begini.

Robb, Sebastian, dan Richard bergerak dengan sangat cepat karna tak lama isi bagasi sudah kosong. Aku bahkan tak sempat membawa satu atau dua kotak karena ketiganya bergiliran mengambil barang dari tanganku.

Kami dipersilahkan untuk masuk dan kakiku menapaki tangga ke teras, melangkah memasuki pintu masuk utama. Aku melepas Converse putih yang kupakai, dingin dari lantai marmer yang terempas udara malam dari St. Paul langsung merayapi telapak kakiku.

Kami mengikuti pemilik rumah, melewati foyer luas yang dihiasi dengan cermin bulat besar dengan lampu di atasnya. Ruang tamu terletak tepat di sebelah kiri foyer dan hanya dibatasi dengan perbedaan level lantai, diisi dengan satu set sofa Davinci, grand piano dan lampu tinggi di kanan kiri sudut ruangan. Lantainya diselubungi karpet lembut yang memanjakan kakiku.

"Lia sama Tina mau ke kamar dulu untuk mandi dan istirahat?" tanya Richard seperti menembak apa yang aku butuhkan sekarang. Apalagi jawaban setelah kau berada di perjalanan selama dua puluh enam jam: Aku. Memang. Butuh. Mandi. Dan kasur. But dinner first.

Aku dengan Tina dengan kompak mengangguk. Lalu dia melanjutkan, "Setelah itu kita dinner, aku akan delivery chinese food. Tak masalah, kan?"

"Tina suka chinese food!" Tina merespon.

Aku tersenyum dan mengangguk pada Richard. "Aku juga."

Robb mengantarku dan dengan sigap dia mendahului langkahku menuju kamar yang akan kutinggali di lantai dua. Tina juga punya kamar sendiri di sini tapi dia tak ikut denganku karena masih diurusi oleh Bunda segala keperluannya—termasuk urusan mandi. Jadi dia sementara tinggal dan masuk ke kamar yang kuyakin akan menjadi milik Bunda bersama Richard di lantai bawah. Melihat daun pintunya membuat rasa aneh itu kambuh lagi.

"DADAH LIA!" pekik Tina, membuatku bibirku mengukir senyum dan membalasnya.

Aku menarik koperku, meninggalkan kotak-kotak pindahan milik kami yang tergeletak di lantai rumah. Langkahku bergerak menaiki tangga selebar dua meter dengan ganggang pemegang sisi tangga berupa besi berukir.

Dancing With A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang