1. A Very Unusual Jet Lag

1.2K 148 100
                                    

AULIA WIJAYA

Rasa sepi kembali menyergap batinku, membuat rasa gelisah itu kembali datang. Sekelebat ingatan sehari yang lalu memaksa masuk. Aku mengingat wajah muram teman-temanku, tapi yang paling buruk adalah ketika berhadapan dengan Ayah: saat dimana aku mengucapkan selamat tinggal padanya dan melihat wajahnya yang menatap kepergianku dengan sorot mata tak rela.

Aku mencoba mengingat semuanya, aku terus menatap wajahnya sepanjang kakiku melangkah untuk meninggalkan Jakarta—tepat setelah aku memeluknya begitu erat. Ayah berbisik dan berharap perpisahan ini tak akan lama agar aku bisa bertemu beliau kembali. Walaupun sebagian dari diriku masih membencinya, aku tahu bahwa aku pasti akan sangat merindukannya.

Banyak pesan masuk dari teman-temanku, namun aku hanya menggeser layar notifikasi naik turun. Kalau aku memutuskan untuk membukanya sekarang, pasti Bunda sudah panik melihatku menangis di dalam mobil.

Isi pesan mereka yang terlihat dari bar notifikasi tidak jauh sama, kaget bahwa aku sudah berada di Amerika sekarang atau pesan marah karena tidak mengabari tentang perpindahan domisili kami ke St. Paul, sisanya ucapan selamat tinggal dan pesan untuk jangan melupakan mereka. Tidak ketinggalan peringatan kalau aku harus pulang ke Indonesia sekali-kali, aku tersenyum pahit diam-diam.

Pesan Kirana dan Beni yang sampai beberapa jam yang lalu hanyalah pesan yang paling niat untuk kubuka. Tidak ketinggalan notifikasiku di Instagram juga memajang pemberitahuan bahwa aku ditandai dari sekian banyak story keduanya. Pastilah momen-momen sebelum penerbanganku dari Jakarta menuju Chicago sehari yang lalu.

Kirana:
Have you arrived yet?
Sumpah ya itu pantat gak capek apa duduk 26 jam?

You:
Deket lagi sih sampe kayanya
Gak capek
I just extremely mentally drained, Na
Tau lah kenapa

Aku menyempatkan beberapa detik untuk menunggu balasan dari Kirana dan tidak melihat adanya tanda-tanda bahwa sang gadis sedang online. Kalau aku tidak salah hitung mengenai perbedaan waktu kami sekarang, di Indonesia sedang jam lima dini hari. Aku yakin bahwa sahabatku itu sedang sibuk di dunia mimpinya atau sedang bersama Beni, membuatku menutup halaman pesannya dan beralih ke kiriman dari sang lelaki.

Tidak ada rentetan kata dari Beni, hanya kiriman foto—yang setelah aku buka berisi foto selfie dirinya berada di tengah kelab, sedang pura-pura menangis ditemani dengan jari tengah gemuknya yang mencuat tepat berada di tengah foto. Rambut panjang sebahunya terikat dan rona merah memenuhi pipi gembil Beni. Aku tersenyum menahan tawa. Dia memang tidak terlihat seperti orang yang biasa ke kelab. Terlihat begitu polos dan bersih di luar, tapi kotor di dalam. Lol.

Dengan geli aku membalas pesannya dan ternyata Beni masih terbangun—atau belum sama sekali pulang ke rumah. Entahlah.

Beni:
(sent a picture)

You:
Fug u too

Beni:
😘

You:
Ben
Pulang-pulang jangan bawa suami orang ke rumah ben, tolong
Kasian Bi' Sumi
Jantungan mulu setiap liat lo pulang, gak lurus

Beni:
Sjalaaaan

You:
'Sialan', Beb

Beni:
Ita iyu

You:
Iya serah lo, Ben

Dancing With A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang