14 - Latar Belakang Garvin

Mulai dari awal
                                    

Setelah makanan mereka tiba, mereka makan dalam diam. Lima menit berlalu, barulah Katrin kembali berani bersuara.

"Sorry, ya."

"Untuk?"

"Omongan gue tadi."

"Biasa aja, Kat. Nyokap lo pasti tau juga kok kalau gue bukan anak kandung."

Katrin menghela napas tak kentara. "Meskipun gitu, gue yakin lo dibesarin dengan baik. Mereka pasti udah kayak orang tua kandung buat lo."

Garvin menyentuh ujung straw di minumannya. Tanpa menatap Katrin, dia menjawab. "Bisa dibilang gitu." Nadanya terdengar tak begitu yakin.

"Mereka pasti bangga punya anak pinter setengah mampus kayak lo."

"Ya, semoga aja."

"Gue boleh memastikan sesuatu nggak, Gar?" Katrin bertanya hati-hati.

"Apa?"

"Alasan lo nanti ambil kuliah kedokteran meski itu bukan minat lo dikarenakan tuntutan orang tua lo, kan? Dan lo nggak bisa nolak karena lo nggak mau ngecewain mereka?"

"Iya. Gue rasa kita pernah bahas ini sebelumnya."

"Tapi kan lo nggak tertarik di bidang itu, Gar."

"Gue berkewajiban memenuhi ekspektasi mereka."

"Meski lo nggak bahagia?"

Garvin mengangkat bahu sekenanya, enggan menjawab dengan pasti.

"Kenapa sih lo nggak bilang aja ke ortu lo kalau lo nggak tertarik ngikutin jejak mereka? Terus buktiin kalau lo bisa bersinar di bidang yang lo pilih sendiri."

Garvin menghela napas dan menatap Katrin dengan senyum tanpa arti. "Situasinya nggak segampang itu, Katrin."

"Nggak gampang di bagian mana?"

"Kayak yang gue bilang sebelumnya, gue bukan anak kandung mereka. Tapi gue bersyukur banget bisa menjadi bagian keluarga mereka. Dan ketika ortu gue bilang gue harus jadi dokter, apa menurut lo gue harus nolak? Kesannya, gue nggak tahu diri banget. Mereka udah berbaik hati ngurusin gue dari umur lima tahun, masa gue harus nolak keinginan mereka?"

Penjelasan Garvin membuat Katrin memahami situasi apa yang sebenarnya Garvin hadapi. Cowok itu merasa berhutang budi dengan orang tua angkatnya itu.

Berusaha tidak mengecewakan orang yang sudah berjasa dalam hidup kita itu memang sebuah pilihan yang bijak. Namun, Katrin rasa, kalau kebahagiaan diri sendiri harus dikorbankan, pemikiran itu perlu ditinjau ulang. Biar bagaimana pun, Garvin lah yang punya kehidupannya sendiri dan dia punya hak penuh untuk menentukan masa depannya.

"Jadi dokter memang bukan sesuatu yang buruk, Gar, tapi tetep aja, kalau lo melakukannya karena terpaksa, hasilnya nggak akan baik."

Garvin tak berkomentar.

"Lo pernah nggak sekali aja ngomong kalau lo sebenernya nggak minat jadi dokter?"

"Nggak pernah."

"Kenapa nggak pernah? Kalau lo nggak bilang, ortu lo nggak bakal tau."

"Kalau gue bilang gitu, orang tua gue pasti bakal balik nanya, jadi minat gue itu apa, dan jujur aja, gue nggak punya jawaban."

Ah, iya, Katrin ingat, Garvin memang tidak punya ketertarikan besar akan suatu bidang. Dia nggak punya passion!

"Gue bisa bantuin lo cari jawabannya," kata Katrin seakan meyakinkan.

Cowok itu langsung menatap Katrin dengan dahi berkerut tak mengerti.

"Gue bakal bantuin lo menemukan bidang yang lo sukai."

Dengusan tawa langsung lolos dari bibir Garvin. "Mending lo gunain waktu lo buat belajar matematika."

Katrin berdecak. "Gue serius, Gar! Gue berempati sama lo. Hidup datar lo itu nggak asyik banget, tau nggak?"

"Lo berniat bikin gue jadi anak pembangkang?"

"Eh, nggak gitu. Bukan itu tujuannya. Gue cuma pengin lo menemukan sesuatu yang lo sukai. Supaya lo ngertiin posisi gue yang lebih banyak ngabisin waktu dengan kanvas daripada dengan buku."

Garvin menangkat bahu sekenanya lagi. Mungkin dia tidak tahu mau bereaksi seperti apa atas penawaran Katrin ini.

"Walaupun pas ujung-ujungnya lo tetap harus jadi dokter, seenggaknya, masa muda lo sedikit lebih berwarna karena lo pernah melakukan hal yang betul-betul berdasarkan keinginan hati lo."

"Ok, jadi apa langkah pertama yang harus gue ambil?"

Katrin tersenyum penuh kemenangan. "Langkah pertama biasanya dimulai dari satu hal yang sederhana. Gue rasa, lo harus kurangin sifat serius lo itu. Soalnya itu kaku banget."

Garvin menatap Katrin dalam-dalam. "Menurut lo gue bisa ngubah sikap gue?" balasnya retoris.

"Ya, bisa, lah. Kalau lo bisa lebih nyantai dikit, gue bakal nemenin lo ngelakuin sesuatu yang mungkin lo sukai. Mulai dari olahraga, main musik, fotografi dan segala bidang yang mungkin aja menarik minat lo. Gue yakin, akan tiba saatnya hati lo berdebar saat ngelakuin sesuatu. Di titik itu lah lo akhirnya bisa nemuin passion lo sesungguhnya."

"Gampang bener, ya, ngomongnya. Terserah lo deh."

"Liat aja nanti, Gar. Gue yakin nggak ada manusia di dunia ini yang terlahir tanpa hobi."

Meski Katrin mengatakan hal itu dengan semangat 45, Garvin tetap konsisten memasang wajah tanpa minatnya. Cowok itu kemudian menyedot minumannya, dia tidak punya kata-kata lagi untuk membalas ucapan Katrin.

***

A/N:

Kira-kira Katrin berhasil nggak ya membuat Garvin menemukan hobinya?
Dan menurut kalian, passion Garvin itu cocoknya di bidang apa?

Terimakasih udah baca Karena Katrina. Semoga suka!❤️

Btw, yang punya akun storial, baca juga ceritaku di storial.co. Judulnya I Know You Miss Me. Kalau penasaran, langsung aja meluncur ke akun @Egadyp. Kalau udah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak kalian, ya.

 Kalau udah mampir, jangan lupa tinggalkan jejak kalian, ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Thanks for reading!❤️

Karena KatrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang