Prolog

19.3K 1.7K 95
                                    

Prolog

Punya IQ 125 ternyata nggak menjamin kamu menjadi orang yang pintar dalam bidang akademik. Itulah pemikiran yang pertama kali muncul di benak Katrina Nagita ketika ia melihat angka yang tercantum di kertas ujian matematikanya yang baru saja dibagikan oleh sang ketua kelas, Oka.

Angka 10 tercetak besar disana, ditulis dengan pena bertinta merah, memberi kesan thriller yang seakan mau menggoncang akal sehat Katrina.

Dari 10 soal, dia mendapat skor 10. Awalnya dia hampir kesenangan, namun ketika dia mengintip kertas Dewi, teman sebangkunya yang mendapat nilai 20. Dia sadar nilai 10 itu sangat memalukan.

"Skor tertingginya seratus," bisik Dewi seakan menjelaskan pada Katrin bahwa nilai mereka kacau balau. Dari skor 100, Kartin cuma dapat 10. Berarti, Katrin hanya benar 1 soal.

"Gue nggak belajar waktu itu," kilah Katrin sok santai.

Dewi menyembunyikan tawanya dengan dengusan pelan. "Sejak kapan kita belajar?"

Dan Katrin langsung nyengir kuda. Belajar memang bukan aktivitas favoritnya, apalagi belajar matematika. Katrin nggak suka hitung-hitungan, nggak suka mengukur, nggak teliti, nggak pandai ngapalin rumus, dan lain-lainnya. Secara singkat, bisa dikatakan dia itu nggak jago kalau urusan pelajaran.

Dewi menepuk bahu Katrin, sebagai isyarat yang seakan mengatakan you're not the only one.

Pak Anjar, sebagai guru matematika yang tengah mengajar berdehem di depan kelas, minta perhatian. Laki-laki berusia kepala lima dengan ciri khas kumis lebat itu kemudian berkata dengan suara cukup tegas. "Oke sekarang tatap kertas ujian kalian. Perhatikan nilai yang tertera disana!"

Seisi kelas kompak menunduk. Melihat kertas masing-masing. Katrin meringis kecut, mau melihat kertas ujiannya sampai memelotot pun, atau sampai bola matanya terjun bebas, tetap nggak bikin skornya berubah jadi lebih baik.

"Bapak anggap nilai kalian itu sebagai tolak ukur kemampuan matematika kalian. Sekarang semuanya maju ke depan kelas!" perintah Bapak itu lagi.

Walaupun diliputi kebingungan, seisi kelas langsung menuruti.

"Mau ngapain nih?" bisik Katrina pada Dewi penuh keheranan. Yang ditanya cuma mengangkat bahu sekenanya.

"Yang nilainya 80 sampai 100, coba angkat tangan," kata Pak Anjar yang kini sudah berdiri di samping meja, menghadap ke arah siswa-siswi yang sudah berdiri di dekat papan tulis.

Katrina melengok ke kanan dan kiri. Dari 32 murid, ada 8 orang yang mengangkat tangan. Oka, Rahma, Sinta, Erika, Riko, Willy, Bian dan Garvin. Katrin berdecak salut. Dikasih makan apa sih sampai bisa segitu pinternya? Dan tebakannya, Garvin pasti mendapat nilai 100. Sebagai peraih peringkat pertama di kelas saat ujian semester kemarin, kepintaran Garvin nggak bisa diragukan lagi.

"Sekarang, kalian duduk di barisan ke 1." Pak Anjar menunjuk barisan yang paling dekat dengan meja guru. 8 orang tadi pun dengan patuh langsung mengisi barisan 1 dari depan hingga belakang.

"Yang dapat nilai 60-79, silakan duduk di barisan 2." Murid yang merasa mendapat nilai itu, langsung memperebutkan kursi di baris ke 2.

"Barisan ke 3 untuk yang mendapat nilai 40-59."

Katrina mulai paham situasi ini. Berarti yang dapat 0-39 duduk di barisan ke 4. Paling dekat sama pintu dan jendela koridor. Barisan terbuang!

Tebakannya ternyata benar ketika dia mendengar perintah itu langsung dari mulut Pak Anjar.

Katrina meringis. Teman-teman seperbegoannya dengan cepat merebut kursi. Yang tersisa hanyalah barisan paling belakang. Katrin harus rela duduk di barisan ke empat, paling belakang pula. Benar-benar terbuang. Untungnya Dewi masih setia duduk di sampingnya.

"Diskriminasi ini namanya!" omel Dewi.

"Betul! Kita lagi dikotak-kotakin. Barisan untuk murid sangat pinter, barisan untuk murid cukup pinter, barisan untuk murid agak pinter dan barisan untung murid kurang pinter!" balas Katrin sambil menunjuk satu persatu barisan dari paling kiri.

"Oke, sekarang kalian sudah duduk berdasarkan perolehan nilai masing-masing," Pak Anjar yang juga merupakan wali kelas XI IPA 2 ini kembali bicara. Dan Katrin langsung kehilangan moodnya.

"Kalau begini, saya bisa lebih mudah mengenali kemampuan kalian. Kalian juga bisa lebih mudah menentukan pasangan belajar kalian."

"Pasangan belajar apa, ya, Pak?" Oka menginterupsi dengan sopan.

"Oh, ya, Bapak belum kasih tau, ya. Jadi, murid dengan nilai tertinggi, yang sekarang berada di barisan 1, punya kewajiban untuk membantu murid di barisan 4 yang notabene-nya nggak begitu mengerti matematika. Begitupun dengan murid di barisan 2 yang membantu barisan 3."

Seisi kelas kompak menggumamkan kata "oh" dengan panjang meskipun ekspresi mereka masih agak terkejut dengan aturan ini.

"Jadi nanti di setiap latihan soal matematika, kalian mengerjakannya secara berpasangan. Contohnya Oka, kamu berpasangan dengan Tiana." Ucap Pak Anjar sambil menunjuk Oka yang duduk di barisan 1 paling depan di meja kiri dengan Tiana yang duduk di barisan 4 paling depan meja kiri.

"Untuk mengetahui pasangan kamu, tinggal liat aja deretan meja kamu," sambung Pak Anjar.

"Oh jadi gue sama Bian," ucap Dewi.

Katrin menengok ke kiri. Kalau Dewi sama Bian yang duduk paling belakang sebelah kiri meja di barisan 1, berarti Katrin sama orang di samping Bian. Dan orang itu Garvin, dong?

Tepat saat itu, Garvin dengan tampang datarnya juga menoleh. Hal itu seperti konfirmasi kalau Katrin memang akan berpasangan dengan Garvin. Cowok itu yang akan membantunya mengerjakan soal matematika nantinya.

Garvin kembali menatap ke depan. Seakan sebelumnya tak bersitatap dengan Katrin yang sayangnya udah keceplosan memberi senyum. Senyum Katrin mendadak luntur.

"Yang nilainya masih kurang, khususnya untuk barisan 3 dan 4, kalian bisa minta ajarin pasangan kalian di barisan 1 dan 2. Anggap saja mereka mentor kalian," ucap Pak Anjar.

Wait! Katrin menyela dalam hatinya. Jadi tugas Pak Anjar apa, dong? Apa motif bapak ini memasangkan si pintar dengan si bego?

Seakan mampu membaca pikiran Katrin, Pak Anjar langsung berkata, "Tujuan Bapak melakukan aturan ini agar yang nilainya kurang dapat belajar dengan santai sekaligus mendapat motivasi langsung dari temannya yang pintar. Sedangkan yang pintar, dapat mengerti indahnya berbagi ilmu."

Seisi kelas kompak ber-"oh" lagi. Mereka sekarang mengerti niat Pak Anjar sungguh mulia dan ini bisa jadi strategi menyenangkan untuk memahami matematika dengan mudah. Ya, semoga saja bisa sesuai ekspektasi.

Namun hati Katrin sebenarnya diliputi keraguan. Terkhusus untuk kasus dia. Dipasangkan dengan Garvin yang nggak bisa menjamin kelas matematika akan terasa mudah dan menyenangkan.

Katrin mencoba mengingat track record Garvin. Pintar luar biasa, ganteng luar biasa, dan terlihat tenang luar biasa. Apakah itu modal untuk menciptakan kelas matematika yang damai untuk Katrin?

Tidak semudah itu.

Garvin itu nggak ada kesan ramah-ramahnya. Sebagai buktinya, senyuman Katrin yang barusan saja diabaikan begitu saja. Nggak berperasaan banget, kan? Setahu Katrin, Garvin memang bukan tipe orang yang suka haha-hihi di kelas. Kalau nggak penting-penting amat, dia malas untuk ngomong. Katrin jadi sangsi apakah mereka bisa berkomunikasi dengan baik atau tidak kedepannya.

Dewi tiba-tiba menyenggol lengannya. Sambil nyengir, dia berkata pelan. "Enak banget idup lo dimentorin langsung oleh si ganteng."

Siapa sih yang nggak bersyukur dikasih pemandangan indah yang bisa dikagumi? Katrin nggak munafik. Garvin itu memang cakep banget. Tapi kalau harus mengalami masa-masa penuh kecanggungan atau tekanan karena nggak bisa berkomunikasi dengan baik? Ya apa enaknya?

Katrin menghela napas panjang lalu mengangkat bahu sekenanya. "Liat aja nanti, Wi. Tapi firasat gue agak nggak enak nih."

Dewi terkekeh pelan.

Sepertinya Katrin memang harus kembali ke prinsip awal hidupnya. Tetap selow. Nyantai aja, lah. Kalau memang harus berurusan sama manusia kayak Garvin, jalanin aja. Kalau kata Chrisye, Badai Pasti Berlalu. Toh pasti ada momen dimana semua ini akan berakhir. Ya, kan?

***

Karena KatrinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang