12 - Licious Romance

Start from the beginning
                                    

Katrin mengerjap beberapa saat. Ini pasti mimpi! Atau halusinasinya belaka!

"Sendirian, Kat?" sosok berbentuk Reihan itu kembali bertanya. Dan melihat senyum manis cowok itu, Katrin mulai sadar bahwa semua ini nyata. Reihan muncul tanpa diduga saat dia sedang memikirkan cowok itu. Ini pertanda dari semesta!

Katrin balas tersenyum dan mengangguk ketika sudah sepenuhnya sadar dari keterkejutannya. Reihan yang sedang memegang minuman di tangannya mengambil tempat duduk tepat di depan Katrin.

"Gue mampir bentar mau beli minum, nggak nyangka ketemu lo disini," kata Reihan ramah seperti biasa.

"Gue juga nggak nyangka."

"Lagi ngapain, Kat?" tanya Reihan dengan nada akrab. Pandangan cowok itu tertuju pada iPad di tangan Katrin.

"Sebenernya lagi cari inspirasi buat gambar selagi nungguin seseorang."

"Oh, jadi lo lagi nungguin orang. Siapa?"

Kepo adalah tanda peduli. Dan peduli adalah tanda cinta. Katrin memikirkan kalimat tersebut dalam hatinya sambil mencoba menahan senyum bahagiannya.

"Garvin. Mau bikin tugas bareng dia," jawab Katrin nggak sepenuhnya berbohong. Tentu Katrin nggak menyebut tentang Garvin yang jadi mentor matematikanya, dia nggak mau dicap sebagai cewek yang bego banget di depan cowok yang dia suka.

Reihan langsung melihat arloji di tangan kanannya. Dan dengan tatapan takjub, dia kembali menatap Katrin. "Tumben banget. Biasanya jam segini tuh jadwal bimbel dia."

"Oh ya?" Katrin ingin bertanya darimana Reihan tahu, kemudian dia sadar bahwa Reihan memanglah teman Garvin. Tetangga slash temannya sejak kecil.

"Dia tuh paling bisa nongkrong ke cafe gini pas weekend doang."

"Lo akrab banget kayaknya sama Garvin sampai tahu kebiasaannya."

Reihan terkekeh. "Kami emang lumayan akrab, Kat. Udah temenan sejak kecil soalnya. Setahu gue, dia anaknya emang gila belajar, makanya pinter banget."

"Iya, dia emang selalu berkutat sama buku pelajaran, padahal di dunia ini kan belajar tuh bukan segala-galanya."

"Dia juga sejak dulu emang rajin ikut les. Malah pas SMP dulu, tiada hari yang dia lewatkan tanpa ikut bimbingan belajar."

"Otaknya nggak berasap apa, ya?" Katrin meringis heran. Membaca buku setengah jam aja sudah bikin Katrin bosan bukan kepalang, apalagi sampai setiap hari kayak Garvin?

Reihan mengangkat bahu sekenanya. "Sebenernya dalam hati Garvin, dia pasti capek juga belajar. Tapi itu tuntutan kedua orang tuanya yang nggak bisa dia bantah."

Reihan mengatakan hal itu dengan pikiran yang seakan menerawang jauh.

"Orang tuanya pasti keras banget, ya?" Katrin nggak mengerti kenapa dia dan Reihan berakhir ngomongin Garvin dari belakang gini.

Reihan cuma tersenyum tanpa arti yang jelas.

"Nyokap gue juga tipe yang suka maksa gue buat giat belajar juga sih, tapi gue nya kadang iya kadang enggak nurutinnya. Secara, gue nggak terlalu suka sama kegiatan satu itu."

"Sama," Reihan tertawa. "Tapi Garvin bukan orang kayak kita, Kat. Dia diharuskan belajar. Meski itu bikin kebebasannya berkurang dan bikin dia capek karena otaknya terus-terusan diforsir buat belajar sesuatu yang bahkan nggak menarik minatnya."

Katrin merasa, seperti ada sebuah cerita besar yang Reihan coba jelaskan secara tersirat. Namun Katrin tidak dapat menangkap maksudnya dengan jelas. Yang Katrin tahu, ini menyangkut Garvin dan ambisinya dalam belajar yang sebenarnya bukan berdasarkan keinginannya sendiri, namun berkaitan dengan tuntutan orang tua yang tidak bisa ia bantah.

Karena KatrinaWhere stories live. Discover now