Epilog

102K 7.1K 168
                                    

Di saat semua orang memaksaku berlari dari masalalu. Kau menuntunku perlahan sampai masa depan tak hanya harapan.

Lentera Humaira

Sudah hampir sepuluh menit Arman berdiam diri di ujung pintu, rasanya hanya dengan melihat mereka tersenyum bahagia saja sudah sangat menyenangkan hati Arman. Hampir satu minggu Arman meninggalkan mereka mengurus bisnisnya ke luar kota, selama beberapa hari ini dia harus menahan rindu yang teramat besar pada keluarga kecilnya.

Bukannya menghampiri, Arman justru meraih ponsel pintarnya dalam saku celana lalu menarikan jemari untuk mengetik sesuatu di sana. Padahal saat ini ia tengah bersandar di ambang pintu sambil sesekali menatap bahagia keluarga kecilnya di ruangan itu. Mereka sedang asik bermain bersama sampai tak menyadari kehadiran Arman.

Lenteraku

Harapan besar yang kuyakini mustahil terjadi, menjelma kenyataan manis yang patut ku syukuri keberadaannya. Sayap-sayap yang dulu patah kembali utuh, siap mengangkasakan kembali doa-doa saat sebelumnya terhempas jatuh ke dasar bumi.

Di sela ketidak percayaanku pada takdir-Nya, hadir seseorang sepertimu yang cerewet, yang berisik, yang juga tak pernah menyerah.

Saat semua orang memaksaku berlari dari masalalu, kau menuntunku perlahan sampai masa depan tak hanya harapan. Kau berbeda. Tak pernah pergi meski kumaki. Cintamu nyata meski tak pernah kuanggap ada.

Terima kasih, sudah bertahan untuk tidak pergi, untuk selalu di sampingku meski sering kali aku mengusirmu.

Arman menarik diri dari lamunannya sesaat setelah tangan merayap di pundaknya. Serta langsung menyimpan kembali gawainya, padahal pesan yang ia ketik belum sempat terkirim. Ketika Arman menoleh sang ibu sudah tersenyum ikut memandangi objek yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya.

"Syukuri dan jaga baik-baik apa yang kamu dapatkan sekarang, jangan pernah sia-siakan lagi. Itu anugrah terindah yang Allah kasi buat kamu," ucap Maya dengan sorot mata yang tetap tertuju pada tawa ceria di ruang itu. Ruangan di mana Maira, Zhira, dan juga si bayi kembar-Azzam Nauval Ar Rasyid dan Izza Nauvalin Ar Rasyid sedang bermain.

"InsyaaAllah, Ma. Sekuat mungkin aku akan menjaga kebahagiaan mereka."

Maya mengukir senyum di wajahnya. "Si kembar sudah tidur, Mama pulang dulu ya," pamit Maya lalu pergi setelah mendengar jawaban Arman.

Lelaki yang sudah menjadi ayah dari tiga anak itu kembali merogoh handphone dalam sakunya dan mengirim pesan yang tadi sempat ia ketik. Tapi, sepertinya percuma. Ponsel Maira selalu dalam mode diam, dan lagi, saat ini sedang digunakan untuk memutar audio murotal dari salah satu hafidz indonesia yang di letakkan diantara Azzam dan Izza.

"Papa," teriak Zhira. Si sulung terlebih dulu menyadari kedatangan Arman, lalu menghampirinya. "Papa sudah pulang ...."

Arman masuk dan menghampiri Zhira yang berlari padanya.

"Pa, hari ini Chira punya temen baru," cerita Zhira.

"Oh iya? Kak Alvin gimana? Udah mau jadi temen Zhira?" Arman Menggendong Zhira, bertanya perihal anak yang selalu jadi bahan gosip antara Papa dan putrinya ketika pulang sekolah.

Zhira menggeleng. "Kak Avin tidak mau temenan sama siapa-siapa."

"Terus? Teman barunya siapa?" Arman mendekati istrinya yang tersenyum mendengar cerita Zhira lalu mendudukkannya di ranjang samping Maira.

"Namanya Sesil," ucap Zhira antusias berlanjut menceritakan karakter, fisik, sifat, dan proses mereka sampai akhirnya jadi teman bermain bersama. Arman dan Maira hanya bisa menjadi pendengar yang baik untuk putrinya itu. Kehangatan yang tidak akan pernah tergantikan oleh apapun.

Lentera Humaira ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang