22) Bidadari Yang Disia-siakan.

142K 12K 740
                                    

"Terkadang, di saat hati kita sendiri terluka, kita masih harus menenangkan hati lain yang lebih terluka."

Sebuah tangan menjulurkan setangkai mawar di depan kedua gadis beda usia itu. Maira dan Kiara sama-sama mengangkat wajah kearah asal suara.

"Mawar yang cantik, untuk putri tercantik. Ambillah!"

Sesaat Maira berharap orang itu tak lain adalah Chandra, tempatnya berkeluh kesah sejak kecil. Sayangnya, bukan. Dia adalah orang yang beberapa tahun lalu ia kenal. Ilham Malik Hanafi. Ya! Itu namanya. Sesosok pria yang selalu menundukkan pandangannya ketika berjumpa dengan perempuan yang bukan mahram. Seperti saat ini pria itu memberikan bunga tanpa melihat siapa orangnya. Lelaki ini hanya melihat rerumputan di bawah, mungkin rumput di bawah sana lebih indah dari pada gadis di sampingnya.

Maira mengangkat tangan hendak menerima mawar itu.

"Afwan, Nona. Bunga ini untuk Bidadari kecil yang kehilangan senyum," pungkasnya.

Dahi Maira mengkerut tanda bingung. Bagaimana dia bisa tahu, kalau yang menerima bunga itu bukan Kiara jika tidak melirik, pasti tadi dia melihat ke sini. Batin Maira.

"Meski samar saya tahu jika tadi bukan tangan kecilnya," kata Ilham seperti mendengar isi hati Maira.

Maira hanya ber-ohria seraya manggut-manggut. Lalu menyuruh Kiara untuk menerima bunga itu. Yang dia tidak habis pikir Umi Zulfa bilang kalau laki-laki ini selalu menolak bertemu, bicara, dan dijodohkan dengan siapapun hingga saat ini. Dia dengar Lelaki keturunan ulama' ini selalu dingin terhadap gadis manapun. Tapi, kenyataanya tidak begitu.

"Tidak usah bingung, saya memang tidak pernah memaksa diri untuk menyukai sesuatu."

Maira kembali menautkan alisnya, apa laki-laki ini bisa membaca hati seseorang?

"Tapi, bukan berarti saya tidak menyukai semuanya. Terkadang, yang saya sukai, seperti mawar berduri di pinggir tebing yang curam, sulit sekali menggapainya."

Kiara bangkit dari duduknya lalu berdiri di depan Ilham. "Paman, di taman ini banyak kok bunga mawar yang cantik. Paman bisa mengambilnya, Umi Maryam tidak pernah marah," ucap Kiara polos.

Ilham menarik tangan Kiara membawanya duduk di pangkuannya. "Tidak, Paman lebih suka Mawar berduri di pinggir jurang."

"Kenapa,"

"Karena tidak sembarang orang berani memetik dan mengambilnya."

"Tapi, kan gak bisa di ambil."

"Justru itu, nanti kalau Kamu besar harus jadi seperti mawar di tepi jurang. Karena orang-orang tidak akan berani menyakiti Kamu."

"Benarkah?"

Ilham mengangguk, "oh, iya. Nama kamu siapa?"

"Kiara," jawabnya singkat.

"Kenapa tadi sedih?"

"Ara kangen Papa Mama."

"Oh, pasti Papa sama Mama Kiara juga merindukan Kiara. Cuma mereka lagi berdo'a sama Allah di surga sana. Mereka pasti sedang berharap kelak Kiara jadi anak yang sholeha, baik, dan selalu tersenyum." Ilham terdiam sejenak. "Tahu tidak? Mama sama Papa itu ikut sedih loh kalau Kia sedih."

"Kalo Kia bahagia?"

"Ya ... mereka ikut bahagia."

"Tapi, kan gak bisa ketemu Kia."

"Walaupun begitu, mereka bisa melihat Kia. Apapun yang Kia lakukan, Papa Mama selalu mantau Kia dari Surga. Mereka ingin tahu apa Kia mampu mandiri tanpa mereka, apa Kia selalu mendoakan mereka? Apa Kia selalu ngaji buat mereka."

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now