42) Menjelang Akad.

124K 8.6K 185
                                    

"Sebaik-baiknya kisah adalah skenario dari naskah yang telah Allah tuliskan di laukhul makhfudz untuk setiap hambanya."

~Lentera Humaira~


Seluas jagat raya membentang tanpa tepi, seluas itu pula rasa syukur yang harus kita miliki bukan? Jika dulu Arman bertindak seimpulsif itu tanpa memikirkan penyesalannya di kemudian hari. Berbeda dengan sekarang, dia justru lebih tenang semenjak mengenal Ustadz Khotib, beliau mengajarkan Arman banyak hal untuk terus mengingat Allah dan Rasul-Nya agar hati selalu damai. Meski satu yang masih tidak bisa dia lakukan, yaitu mengikhlaskan.

Rasanya begitu sulit untuk merelakan segala hal yang harus pergi darinya. Dia bukan Chandra yang secara gamblang mengatakan 'jika kita sudah merasakan cinta yang benar-benar tulus karena Allah, maka bagaimana cinta terbalaskan itu tidak penting lagi. Karena yang terpenting bagimu saat itu adalah kebahagiannya, sekalipun bukan denganmu.'

Lalu? Kenapa Arman tidak bisa seperti Chandra? Padahal semuanya sudah jelas, segala sesuatu yang tidak bisa diungkap secara terlisan dengan  otomatis akan terasa begitu terkesan. Seperti halnya perasaan Maira yang begitu tersirat bahwa penolakan tergambar nyata, meskipun masih ada segenggam cinta untuknya. Hanya saja waktu sudah enggan mempersatukan.

Beberapa hari semenjak kepulangan Zhira dari rumah sakit Arman tidak pernah menemui Maira lagi. Dia lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan urusan bisnisnya. Lagipula kenyataan sudah jelas terpampang di depan mata bahwa Maira akan segera menyandang gelar Nyonya Hanafi. Dan hari yang akan mengakhiri kisahnya dengan Maira adalah besok.

"Dav bagaimana desain aula wedding yang ada di hotel Bandung sudah rampung?" tanya Arman.

"Belum Bro, karena kemarin lo sibuk. Dan hasil dari para pedesain bersaing ketat, dan akhirnya ini yang terpilih." Dava menunjukkan Gambar desain itu di depan Arman. "Sebelum di mulai gue mau tahu, lo suka apa tidak, secara kan selera lo tinggi."

Arman menilik kertas yang terhampar di depannya. "Gue gak suka bagian ini, revisi." perintah Arman tegas lalu menyuruh Dava mengambilnya. "Gue mau di bagian itu tampak se elegan mungkin. Sampai menghipnotis orang yang baru masuk."

"Ah, elah. Kenapa gak lo pasang penyihir aja di sana." ucap Dava. Dia sudah yakin hasilnya masih akan direvisi lagi. "Sebenarnya yang perlu di revisi itu otak lo," kata Dava pelan-sambil menata sketsa desain konstruksinya ke dalam map-teramat pelan sampai di telinga Arman seperti orang ngedumel.

Duda beranak satu itu langsung melempar bulpoint yang ada di tangannya pada lelaki bermulut rombeng itu, namun meleset karena Dava menghindar. Dia sudah hapal dengan reaksi Arman selanjutnya.

"Lo ada yang mau diongomongin lagi? Kalo tidak silahkan pergi," usir Arman.

Dava melancarkan tatapan sinisnya mendengar pengusiran Arman. "Gak ada. Gue cuma mau nanya lo besok dateng 'kan ke acara nikahan mantan istri lo?" tanya Dava tegas. "Terus bagaimana dengan Zhira? Apa dia masih suka maksa ketemu Maira?" tanya Dava panjang lebar.

Arman mendesah frustasi, bagaimana tidak! Sudah hampir seminggu sang anak tidak bicara dengannya karena dilarang menemui Maira. Memang ada rasa tidak rela di hatinya, dengan kenyataan bahwa Maira akan menikah. Tapi Arman bingung apa yang harus dilakukannya.

Belum sempat Arman jawab.

"Permisi, Tuan. Di luar ada Bapak Gery ingin bertemu," kata sekretaris Arman menyela obrolan mereka.

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now