33) Khitbah Kedua.

133K 9.5K 434
                                    

Share quotes harap cantumkan sumber.
~Happy Reading~

Jika cinta berhasil membuatmu lemah, maka cintailah karena Allah. Jika cinta mampu membuatmu patah, maka yakinlah Allah akan meluruskannya dengan mudah. Semudah kata 'Kun fayakun'.

Lentera Humaira

Maira masih tidak bicara, dia tidak tahu mau seperti apa lagi mengungkapkan rasa syukurnya atas pertemuan ini? Maira sudah membawa putrinya duduk di teras samping rumah, menikmati dekorasi taman minimalis di halaman yang dihiasi lampu kecil di setiap sudut. Namun Maira membisu dia masih tersenyum menatap Zhira menikmati kue buatannya.

Sambil tersenyum ia bertanya. "Enak?"

Anak kecil itu mengangguk, "enyak," jawabnya, dengan mulut penuh kue.

Maira terkekeh dengan jawaban menggemaskan putrinya. "Zhira, suka?"

Sekali lagi anak itu mengangguk. "Bunda ikut Chira pulang ya? Chira juga mau punya Bunda. Mau di masakin tiap hari sama Bunda."

Entah kenapa ucapan itu terdengar miris di telinga Maira. Dia tersenyum kecut, selanjutnya kembali menetralkan ekspresi getir di wajahnya.

"Loh, kok ngomongnya gitu? Kan ada Mama Rissa."

Seketika bibir Zhira mengerucut, dahinya mengkerut. "Mama Rissa?"

"Iya."

"Chira gak mau Tante Rissa, dia jahat, seperti nenek sihir, suka marahin Chira kalo gak ada Papa."

Mau mengelak bagaimanapun omongan anak kecil biasanya jujur. Maira meraih anak itu, memeluk Zhira dengan erat, sangat erat. Menyalurkan timbunan rindu yang telah lama merimbun. Rasanya lega bercampur cemas. Lega karena Allah berkenan mempertemukan mereka lagi. Cemas karena bagaimanapun dia sudah tidak ada hubungan apapun dengan Papanya. Dan lagi, dia baru saja menerima lamaran orang lain. Zhira dan dirinya, tidak mungkin bersama.

"Ekhmm," deheman seseorang memaksa keduanya menoleh.

"Wah, sepertinya anak Papa betah ya, di sini." Arman berjongkok di depan Zhira. Otomatis Maira sedikit menjauh dari Zhira, karena mereka memang duduk di kursi panjang yang ada di taman.

Zhira hanya terkekeh—sangat menggemaskan—saat tangan Arman menggelitikinya.

Sedang Maira terlihat canggung. Kalian percaya cinta pertama? Orang-orang bilang cinta pertama itu sulit untuk di lupakan. Dan Maira benar-benar mengalaminya, sekeras apapun ia coba lupakan, debar itu masih saja menguasai dasar hatinya meski sekuat tenaga ia redam. Lantas Maira harus bagaimana?

Arman mendekati telinga Zhira, membisikan sesuatu sampai Zhira mengangguk kemudian turun dari kursi, tanpa sepatah katapun masuk ke dalam rumah Maira.

Arman menggantikan Zhira duduk di kursi itu namun berjauhan di sisi lain. Keduanya sama-sama bisu membiarkan waktu berlalu dalam keheningan tanpa suara.

"Kamu apa kabar?"

Arman mencoba memecah kebekuan antara mereka. Sungguh ini bukan Arman banget, tapi saran Dava benar-benar memprovokasi pikirannya. Dava bilang, 'Ungkapkan saja, perihal keputusan yang tak sesuai harapan, biarlah takdir yang mengaturnya.' Dan lagi, Arman sudah tidak bisa menahan betapa bahagianya dia menemukan Maira. Rindu itu menelan akal sehatnya.

"Alhamdulillah, baik. Mas apa kabar?"

"Baik juga."

Kembali hening, setidaknya di luar.  Tapi di hati masing-masing seakan ada ribuan gendrang yang sedang di tabuh menimbulkan kegugupan luar biasa antara keduanya.

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now