30) Perasaan Yang Terpendam.

136K 10.2K 162
                                    

~Happy Reading~

Kejarlah Cinta-Nya sebelum kau mengejar cinta makhluk-Nya, agar saat kau lelah, Allah akan merengkuhmu. Cintailah sang Pencipta sebelum kau sibuk mencintai Makhluk-Nya, agar saat kau mencintai selain-Nya tiada sebab lain kecuali kau mencintainya karena Allah Swt.

_Lentera Humaira_


Maira merebahkan kepalanya di pangkuan sang Bunda, tempat yang teramat ia rindukan. Sehabis pulang dari panti kemarin Maira meminta Ilham mengantarnya kembali ke rumah orang tuanya. Hari terberat untuk seseorang perempuan ialah ketika ia harus memilih mengakhiri masa sendirinya dengan orang yang tidak pernah ia cinta sama sekali, dan Maira butuh pendapat orangtuanya untuk itu.

"Bagaimana keputusan kamu mengenai lamaran Gus Ilham?" tanya Bunda Maira sembari membelai kepala putrinya yang terbungkus jilbab panjang berwarna merah muda. "Ingat Maira, pilihlah lelaki yang mampu menyuburkan Cintamu pada Allah. Dengan begitu kau hanya akan mencintai suamimu karena Allah."

"Bunda, kenapa dulu Bunda nerima lamaran Ayah padahal sudah tahu ayah tidak mencintai Bunda?" Maira tidak menjawab pertanyaan sang Bunda. Ia justru bertanya balik.

Ya, beberapa tahun lalu-Antoni-Ayah Maira pernah menceritakan bagaimana ia tidak pernah mencintai sang istri pertama kali menikah. Dia begitu mencintai sang kekasih yang harus pergi meninggalkan dirinya mengejar mimpi dari pada menerima lamarannya. Dari cerita itulah Maira dengan mantap menerima Arman yang kala itu ingin menjadikannya istri.

Namun kenyataannya sehari sebelum akad lelaki itu secara pribadi mengajaknya bertemu untuk menandatangani materai yang menyatakan bahwa dirinya hanya sekedar ibu untuk anaknya. Dia hanya sekedar ... pengasuh!

"Karena Bunda yakin mampu menggeser wanita yang tidak layak berada di hati Ayah."

"Apa dulu tingkah Ayah pernah menyakiti Bunda?

"Pernah, sering malah. Dulu awal-awal nikah, Ayah itu jahat. Ini itu selalu membandingkan Bunda sama pacarnya. Dan itu rasanya sakiiit banget. Kalau kamu? Kenapa waktu itu mau dijodohkan?"

Maira bangkit dari tidurnya menatap dalam mata sang Bunda.

"Karena aku mencintainya, karena aku ingin mengobati luka hatinya, karena aku ingin menjadi ibu dari anaknya, karena itu amanah dari sahabatku. Tapi, kenyataannya aku tidak mampu membuatnya mencintaiku, tidak mampu mengobati lukanya, tidak mampu menjadi ibu dari anaknya, tidak mampu menjaga amanah dari sahabatku. Ternyata aku perempuan yang tidak berguna," kata hati Maira. Ia tak mampu melisankan semua kata itu hingga butiran bening meluncur bebas dari matanya.

"Ya sudah lupakan masa lalu." Lira menghapus air mata anaknya yang termenung, "dan bagaimana dengan lamaran? Dokter Chandra atau Gus Ilham?" tanya Lira.

Lagi, Maira membisu. Hatinya masih abu-abu, hingga jawaban itu muncul.

"Tuan Arman," kata seseorang dari ambang pintu, menarik tatapan kaget kedua perempuan beda usia itu untuk menoleh kearahnya.

"Hush! Ahlan jangan bicara sembarangan," tegur sang Bunda.

Dahi Ahlan mengernyit tak paham. "Sembarang apa sih, Bunda? Di luar beneran ada Tuan Arman tuh, kalau tidak percaya lihat saja sendiri." Ahlan langsung pergi setelah berkata demikian. Tidak merasa khawatir seperti yang kini tengah Lira dan Maira rasakan.

"Mai, kalau kamu tidak ingin bertemu dengan mantan suamimu itu, biar Bunda yang keluar. Kamu tidak usah kemana-mana," ucapnya lalu meninggalkan Maira sendiri di kamarnya.

Maira memegangi dadanya yang seakan berlari maraton. Ada debar berdetak tak normal setiap kali ia mendengar nama itu, apalagi sampai ada orangnya seperti sekarang. Rasanya seperti ada yang bergejolak dalam hatinya. Setelah merapikan sedikit mukanya dengan makeup Maira meraih cadar diatas nakas, kemudian mengenakannya.

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now