36) Harapan kecil

122K 9.4K 169
                                    

Ada yang nunggu aku update? #GakAda 😂

~Happy Reading~

Diujung penantian ada sepucuk luka yang mengembara tanpa darah. Terbalut rindu yang kian menggumpal saling erat. Rindu yang terselimut do'a dalam kebisuan. Dalam diam tanpa kata, gemerisik harapan terpanjat dalam keheningan malam.

Lentera Humaira

Terkadang, karena suatu hal Yang mendesak memaksa manusia berbuat dhalim. Demi seonggok uang rela menggusur apapun. Demi ketenaran rela menggadaikan apapun. Adapula yang terpaksa demi kebutuhan.

Memang benar, kekejaman seseorang terkadang tercipta akibat kepedihan yang dialaminya di masa lalu. Adapun yang melakukannya dengan jerat keterpaksaan. Setiap kejahatan memiliki alasan yang melatar belakanginya. Sebab egoisme, dendam, terpaksa, khilaf, dan yang paling parah terorisme, semuanya terjadi karena lemahnya iman masing-masing individu, atau parahnya lagi keimanan itu telah lenyap terperdaya gemerlap dunia. Na'udzubillah ....

Kekejaman yang serupa tengah di alami oleh Kyai Hanafi. Selepas kepergian istri dan anak-anaknya Ke acara khitbah. Hanafi seorang diri sempat beradu pendapat dengan pemilik tanah wakaf yang ditemani dua algojonya. Mereka bersikokoh ingin menggusur tanpa mau jalan damai. Sampai akhirnya, satu pukulan diterima Kyai Hanafi sebelum mereka benar-benar pergi karena mendapat desakan dari beberapa pengurus pesantren.

"Jadi, anak dari pemilik tanah wakaf meminta haknya kembali, Abi?" tanya Zulfa masih tidak percaya. "Terus sebagian bangunan yang sudah berdiri di atasnya bagaimana? Mau di gusur?" Umi Zulfa memastikan.

"Mau bagaimana lagi, Umi?" suara Kyai Hanafi terdengar pasrah.

"Meski begitu mereka tidak berhak sampai bermain tangan 'kan, Abi?" Gus Irham menyela.

"Apa tidak bisa kita beli saja?" tanya Zulfa lagi.

"Abi sudah bilang jika kita akan membelinya?" sambung Gus Ilham bertanya.

"Sudah, tapi Pak Ferdi bilang sudah terlanjur menerima uang dari Bos orang tadi. Dari ekpresi wajah pak ferdy, sepertinya dia ditekan," jelas Kyai Hanafi.

Dari ruang tengah, Ustadzah Annisa tergopoh-gopoh membawa nampan berisi semangkok air hangat dan juga sapu tangan. "Umi, ini air hangatnya." kata perempuan itu.

"Terima kasih, Nissa." Umi Zulfa menerima Air tersebut segera mengompres tulang pipi Kyai Hanafi yang sedikit memar. "Oh iya, Annisa tolong gantiin Umi jadi imam Maghrib ini ya," pinta Zukfa pada santri seniornya itu.

"Na'am, Umi." Annisa masih berdiri mematung, menunggu dengan kepala yang di tundukkan, barangkali masih ada yang mereka butuhkan.

"Ya sudah siap-siap sana."

Mendengar kalimat itu barulah Annisa mundur tiga langkah kemudian berbalik setelah mengucap salam. Dunia luar dan dunia pesantren beda hampir 99% di mana adab, tatakrama, akhlak, dan pakaian begitu di junjung tinggi. Maka tidak salah bukan? Untuk para orang tua agar memasukkan anak-anaknya ke dalam pesantren. Memperkenalkan anak dengan ilmu agama begitu penting di era milenial seperti sekarang.

* * *

Untuk kedua kalinya Arman menempuh perjalanan satu jam untuk sampai di rumah Maira.

"Bagaimanapun juga, Maira pernah jadi ibunya. Jadi wajar Zhira ingin menemuinya."

Arman masih berusaha menjelaskan perihal kedatangannya kali ini. Sepulang dari kantor tadi, Arman langsung di sambut oleh rengekan Zhira yang membuatnya semakin stres. Diabaikan, tidak mungkin Arman setega itu. Dituruti, beginilah jadinya. Terintimidasi dengan berbagai kecaman dari Bundanya Maira.

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now