34) Berjuang Sekali Lagi.

133K 9.2K 122
                                    

~Happy Reading~

Allah maha Agung, Beliau menciptakan segala sesuatunya secara sempurna. Seperti gunung, laut, sungai, juga hamparan sawah luas nan indah. Hanya terkadang lupa untuk manusia syukuri keindahannya.
Maka nikmat tuhan manakah yang engkau dustakan.

Semua memang tak lagi sama. Kehidupan di akhir zaman ini telah banyak manusia yang harus rela menggadaikan sholatnya demi seonggok uang. Rela melupakan kewajibannya sebagai muslim dan muslimah yang taat.

Seolah saling berlomba memperbanyak tabungan di bank, tapi lupa memperbanyak tabungan akhiratnya. Manusia memang membingungkan, kadang rela sakit demi uang. Setelah sakit, rela menghabiskan uangnya demi kesehatan.

Islam hanya status, agama dari sebagian orang hanya sebatas tertera di KTP. Arogansinya menutup hati hingga membuat keserakahan menguasai. Rela menggusur hewan-hewan dari habitatnya, rela menggilas habis bukit, seperti Arman bahkan sampai tega hendak menggusur pesantren hanya untuk mencapai keinginannya. Sungguh semua itu membuat Bik inah miris.

Rumah bak istana, penuh dengan harta namun kosong akan ibadah, sama halnya dengan gubuk reot yang tak berharga. Rekening dunia bukan segala-galanya, tapi tabungan akhiratlah yang lebih utama. Kalimat dari Maira itulah yang selalu Bik inah tanamkan pada pikiran polos Zhira. Ia hanya tidak mau Zhira terlalu terbuai dengan apa yang dia miliki saat ini. Meski terkadang ajaran Arman yang sombong sedikit mempengaruhi.

"Non Zhira sudah sholat Dzuhur?"

Lastri yang tengah sibuk membersihkan laci dengan kemoceng menyapa Zhira yang berjalan gontai dari lantai dua kamarnya.

"Sudah," jawabnya sambil terus berjalan menuju dapur.

"Bibi Omah!" seperti itulah panggilan Zhira pada Bi inah. "Ceritakan lagi bagaimana Bunda Maira jagain Chira waktu kecil?"

Bik Inah yang sibuk memotong sayur, mengangkat wajah, menatap bingung pada nona kecilnya. "Kan sudah semua."

"Critakan lagi yang lain," Zhira naik ke atas kursi kemudian duduk di atas pantry. Gadis yang sering mendapat julukan peri kecil itu begitu menyukai cerita masa bayinya ketika Maira menimang dengan penuh cinta. Dia begitu ingin memiliki ibu yang bisa menasehatinya ketika salah. Yang bisa bertanya...,

'Zhira bagaimana di sekolah? Siapa teman pertama Zhira? Ada PR tidak di sekolah?'

Zhira selalu memikirkan hal kecil seperti itu ketika tanpa sengaja melihat anak-anak lain sedang bercanda tawa dengan ibunya. Bahkan ia selalu bermimpi kala malam menjelang ada dongeng yang mengantar tidurnya, juga mendengarkan doanya sebelum lelap, kemudian kecupan lembut mendarat di keningnya.

"Non Chira mau denger cerita yang lain tidak?" tanya mbak Yesi.

"Mauu...." Zhira mengulurkan tangannya.

Lantas Yesi meraih tangan Chira, menggendongnya, lalu mendudukkan Nona kecilnya di meja makan. "Suatu hari saudara Almarhumah Mamanya Non datang ke rumah ini," kata Yesi menjeda kalimatnya untuk membuat Zhira penasaran.

Kening cantiknya mengerut. "Tante Vania?"

Yesi mengangguk mantap sembari menyiapkan makan siang untuk Zhira. "Karena Papanya Non Zhira tetap tidak mau menerima Bunda Maira, akhirnya Non di bawa pergi sama Tante Vania. Terus ... Non Zhira mau tahu yang terjadi sama Bunda setelah Non pergi?"

Tanpa banyak kata kepala gadis kecil itu mengangguk.

"Bi Yesi bakal cerita kalo Non Zhira udah habisin makan siangnya." Yesi menyodorkan sepiring nasi serta lauk pauk pada Zhira beserta susu Vanila kesukaannya. "Bunda bilang sebelum makan harus berdoa dan tidak boleh ngomong, paham?"

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now