39) Mengikhlaskan.

119K 8.8K 350
                                    

~Happy reading~

Takdir memang tidak bisa di tebak. Ketika orang yang kita cintai tidak dapat lagi di genggam, barulah kita sadar bahwa orang itu begitu berharga. Kehilangan memang sekejam ini melukai hati. Akan tetapi, ada sesuatu yang lebih kejam lagi ... yaitu mengikhlaskan. Ya, kita akan merasakan lebih sakit lagi jika hati tidak mampu melampauinya.

_______________________________________

Di luar tengah hujan, desir angin menyusup masuk melalui ventilasi jendela kamar rumah sakit yang sedikit terbuka. Kacanya 'pun terlihat buram sebab menguap dalam kedinginan. Suasananya sangat sunyi kecuali suara merdu dari bacaan kalam ilahi membuat ruangan itu terasa hangat. Ayat demi ayat terlontar lembut memecah kebisingan derai hujan.

Tiada kesulitan yang akan meraja lela kecuali Allah permudah dengan keagungan-Nya, jika kita mampu ikhlas dan menyerahkan semuanya pada sang pemilik kehidupan. Maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah azza wajalla. Ada tiga hal yang tidak bisa manusia tentukan, yaitu jodoh, takdir, dan maut, hanya Allah yang menentukan. Manusia hanya harus memperbaiki diri terus menerus untuk mendapatkan yang berkualitas dari ketiganya.

Sudah dua hari Zhira di pindahkan ke ruang VVIP, keadaannya berangsur membaik. Setiap mau tidur Zhira meminta Maira membacakan ayat suci AlQur'an. Usai mengaji Maira melangkah keluar. Di mana semua keluarga telah menunggu, dan hujan sedikit reda menyisakan gerimis.

"Mai, kamu pulanglah. Biar aku sama Mama saja yang jaga Zhira," kata Arman setelah Maira menyelesaikan ngajinya. Lelaki itu menoleh pada Maya dan Nadia yang sudah berdiri di belakang Arman.

"Iya, Maira. Kamu pulang saja, kasihan Gus Ilham sejak tadi nungguin kamu." sambung Chandra. Sahabat kecil Maira itu datang menjenguk bersama Ayah dan Bunda Maira sore tadi. Chandra memang seperti ini, sejak dulu kebahagiaan Maira adalah prioritas. Sekalipun bukan dengannya.

Kemarin Chandra mendengar berita dari Dokter Ira yang ternyata sudah di pindah tugaskan ke rumah sakit ini. Hanya saja Dokter Ira ada di ruang spesialis anak, bukan di unit perawatan intensif anak.

"Kalau begitu saya permisi pulang dulu ya, Tante." Chandra berpamit pulang sembari mencium tangan Maya.

"Terima kasih sudah datang menjenguk." Maya tersenyum.

"Terima kasih," kata Arman.

Chandra menyunggingkan senyum teringat bagaimana dia dan dirinya memperebutkan Maira waktu dulu. Tapi kenyataannya takdir berkata lain. Allah memang menuliskan garis nasib di lauhul makhfudz dengan cara yang tidak terduga.
"Sama-sama," jawabnya hangat.

Melangkah cepat menghampiri Ilham, "Gus, titip adek tercinta ya," kata Chandra menepuk pundak Ilham. Hati Chandra telah ikhlas memilih menganggap Maira sebagai adik, sahabat dan sodara seperti dulu.

"InsyaaAllah," jawab Ilham.

Beberapa menit kepergian Chandra, Ilham juga memohon pamit untuk membawa Maira pulang karena sejak siang Maira belum makan apapun.

Maya menangkup pipi Maira lalu mengecup keningnya. "Terima kasih atas kebaikan dan ketulusanmu mencintai Zhira, setelah apa yang putraku lakukan padamu," ucap Maya.

"Jangan, Ma. Jangan berterima kasih, karena apapun yang terjadi aku akan tetap menganggap Zhira seperti putriku sendiri. Sama seperti aku nganggep Mama sebagai ibuku." Maira benar-benar tulus dengan ucapnya.

Perasaan Arman diam-diam berdesir mendengar perkataan yang terlontar dari mulut Maira. Ada rasa sedih, perih, dan sakit yang mengiris-iris di dalam hatinya. Mau beribu kalipun ia menyesali perbuatannya, tetap saja semua sudah terlambat. Mau meradang seperti apapun meratapi masalalu semua tetap sia-sia. Dan melihat perempuan itu beriringan dengan lelaki lain tanpa terasa membuat butiran itu meloncat tanpa perintah dari matanya. Pada akhirnya, Maira mampu membuat seorang Arman yang kejam ini menangis.

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now