45) Surat Untuk Maira 2

123K 9.4K 644
                                    

Aku memilih melepasmu, sebab aku ingin berada di puncak memperjuangkan. Aku memilih merelakanmu, sebab aku tahu cinta terbaik adalah Mengikhlaskan.

Lentera Humaira

Maira kini duduk gelisah di ruang tunggu yang memang sudah di sediakan masjid. Dadanya berdebar seakan kehilangan kendali. Ingatannya mengembara menembus masalalu, di mana kala itu Arman menjabat tangan ayahnya dan mengumandangkan akad dengan lantang.

Lamunannya pecah ketika mendengar suara yang berbeda di luar sana. Kedua matanya menerawang gelisah pada layar yang menyorot langsung kejadian di Aula masjid. Di mana Ilham tengah menjabat tangan Ayahnya dengan erat, sudah kali kedua calon suaminya itu gagal mengumandangkan akad nikah. Ada apa dengannya? Suaranya bergetar seperti menahan sesuatu.

Ruangan itu mendadak serasa sempit membuat dadanya sesak. Jiwanya yang sejak tadi rimpuh semakin rapuh. Gejolak hatinya berubah-ubah ada haru, sedih, bahagia, dan ... sedikit keraguan.

Diantara putaran para saksi dan keluarga, ada putri kecilnya ikut duduk di sana. Zhira terlihat sangat cantik dengan kebaya modern yang di pakainya. Sebelum berangkat tadi, anak itu begitu antusias untuk ikut berdandan. Dan di sampingnya orang yang tidak ingin dia lihat dalam acara ini-Arman Ar Rasyid-melihatnya begitu membuat Maira menderita. Namun sekali lagi fakta menariknya untuk tersadar. Fakta bahwa setelah akad ini mereka mungkin tidak bisa dekat lagi. Malaikat kecilnya itu mungkin tidak akan mengerti arti dari acara ini.

Maira mencoba mengangkat wajah, mengerjapkan iris sendunya agar air bening yang menbanjiri matanya tidak jadi tumpah dan mengurangi riasannya. Kemudian hatinya berbisik lirih. Ya Allah ... hamba ikhlas, hamba ikhlas, hamba ikhlas.

Remasan hangat tangan seseorang mampu mengerjapkan mata Maira yang tadi sempat terpejam. "Apa kamu tegang?" tanya Zulfa yang tak lain calon ibu mertua.

Maira tersenyum hambar, sebab dia bingung perasaan seperti apa yang kini tertanam dalam benaknya.

"Maira, boleh Umi tanya sesuatu?" tanya Zulfa lagi.

Anggukan kepala menjadi satu-satunya jawaban dari perempuan itu.

"Apa kamu mencintai Ilham?" tanya Umi Zulfa dengan sangat hati-hati.

Maira membeku, lidahnya kelu, berjuta kata seakan lenyap seketika. Dia bingung.

Tangan kanan Zulfa mengusap lembut kepala Maira, sedang tangan yang satu lagi, masih setia dengan ponselnya. "Jujurlah, Mai."

"Maaf, Umi. Untuk saat ini mungkin masih belum, tapi aku yakin Allah akan segera membalikkan hatiku untuk mencintai Gus Ilham," ucapnya jujur karena dia tidak ingin membohongi siapapun.

"Assalamu'alaikum," salam seseorang dari ambang pintu.

"Wa'alaikumussalam, Annisa. Kebetulan kamu datang. Tolong temani Maira di sini ya, Umi mau keluar sebentar," kata Umi Zulfa.

Ustadzah Annisa hanya mengangguk patuh. "Iya, Umi."

Wanita berhijab syar'i itu 'pun meninggalkan Maira dan Annisa berdua saja.

"Annisa, bagaimana?" tanya Maira setelah Umi Zulfa benar-benar menghilang dari ruangan nuansa putih itu.

"Maaf, Mbak. Saya tidak menemukan kertas apa-apa di manapun. Di mobil yang tadi jemput Mbak Mai juga tidak ada. Sebenarnya itu kertas apa sih?" tanya Annisa, sebab dia penasaran dengan kertas yang di maksud Maira.

Raut muka Maira langsung berubah cemas, kenapa dia bisa lupa di mana meletakkan surat itu? Apa mungkin masih di rumahnya? Padahal dia sendiri belum sempat baca. Tapi, ya sudahlah. Tiba-tiba mata Maira sedikit memicing, sebab gadis yang duduk di sampingnya ini tengah menatap lekat layar laptop yang tengah tersambung dengan acara di luar sana. "Annisa, Nis, Nisa." yang di panggil masih melamun menatap layar di atas meja. "Ustadzah Annisa!" seru Maira naik satu oktaf.

Lentera Humaira ✔Where stories live. Discover now