"Ehm." Suara deham halus dari belakangku membuat kepalaku menoleh. Aku bertemu dengan mata biru Sebastian yang menatapku.

"Biar aku yang membawa kopermu," ujarnya dan sebelum aku bisa membantah, dia sudah mengambil koper biru itu dari tanganku.

Aku tersenyum sambil menggumamkan "thanks" pelan. Dia membalasku dengan cengirannya dan beralih ke Robb. "Dude, kau harusnya latihan dulu jadi kakak. Kau buruk sekali."

"Astaga! Iya, harusnya aku lebih peka." Dia menjawab dengan wajah menyesal setelah Sebastian menunjukkan koperku yang ada di tangannya.

"It's okay, Robb," gumamku sembari melirik Sebastian dengan menahan tawa.

"He's a stupid brother, Lia," bisik Sebastian, dia tertawa mengejek Robb ketika kami sudah sampai di anak tangga paling atas.

Lantai dua mempunyai tiga pintu kamar yang masing-masing bersebelahan, masing-masing kamar memenuhi setiap sudut ruangan, kecuali satu sudut yang merupakan ruang rekreasi terbuka yang luas dan nyaman. Rak buku menempel dari lantai sampai menyentuh langit-langit, dan penuh buku, komik, CD games, CD musik, dan DVD film. Dua sofa dan coffee table berwarna putih senada menghadap ke balkon. Ada futon berwarna hitam ditumpuk di samping sofa.

"Aku menunggu pujian darimu, adik kecil." Robb membawaku menuju salah satu pintu di sebelah kanan. Di bingkai pintunya tertulis namaku. Kamarku itu terletak di sudut kiri.

"Aku tak main-main ketika Dad menugaskanku untuk mendekor kamarmu dan Tina," katanya dengan bangga, aku bisa melihat ekspresi ketika seseorang puas dengan hasil kerjanya yang maksimal. Lalu dia melanjutkan, "Kalau ada yang kurang tinggal bilang padaku ya."

Robb memutar knob dengan perlahan, membiarkanku masuk lalu Sebastian yang menyodorkan pegangan koperku dari tangannya. Dia tersenyum ketika melihat mataku. "Sampai ketemu di bawah, Aulia."

"Yeah," jawabku serak, menahan rasa senang ketika akhirnya dia bisa mengeja namaku dengan benar.

"Kau bisa melakukannya," pujiku begitu mereka berdua pamit untuk meninggalkanku di kamar, Sebastian berbalik ketika Robb sudah menghilang menuju kamarnya yang berada tepat di sebelahku.

"Aku latihan terus dari tadi. Aulia. Aulia. Aulia." Sebastian mengulang untuk mengeja namaku dengan puas. "Aku hebat, kan?"

Aku menahan tawaku dan mengangguk dengan cepat. "Astaga. Kau seserius itu, kau tahu?"

Aku bisa melihatnya menarik senyum dari kedua sudut bibirnya dari tempatku berdiri. Aku baru menyadari bentuk bibirnya yang tipis. "Aku akan tetap memanggilmu dengan 'Lia' kalau begitu. Tak masalah?"

Aku mengangguk, berharap penuh kadar rona merah di pipiku untuk tak muncul dengan mudah. Apalagi di hadapan lelaki ini.

"Sampai ketemu dibawah, Sebastian," kataku setelah dia pamit untuk pergi dari kamarku. Aku mengantar punggungnya yang menghilang di balik pintu kamar milik Robb.

Aku menyadari bibirku masih menguntum senyum begitu kamarku tertutup. Ternyata St. Paul tidak begitu buruk. Ada begitu banyak aspek yang meyankinkan kalau disini aku kan baik-baik saja. Dari sekian banyak baris dari daftar kekhawatiranku, aku akhirnya menghapus salah satu dari sekian banyak. Awal kisahku.

Dancing With A StrangerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang