1. A Very Unusual Jet Lag

Start from the beginning
                                    

Lalu bukannya membalas, ponselku berdering menunjukkan nama Beni yang sedang menghubungiku dan buru-buru kumatikan. Selain sedang kehilangan mood untuk mengeluarkan suara menjawab panggilannya, aku juga tidak punya keinginan untuk berisik di dalam mobil Richard. Lagipula pastilah mereka akan mendengarku berbicara dengan Beni yang kuyakin sedang teler.

Sadar bahwa aku tak bisa menerimanya, dia malah mengirimkan pesan suara yang berdurasi empat detik. Aku memutarnya dan bersyukur bahwa aku lupa melepas headset di telinga sehingga seisi mobil tak bisa mendengarnya. Suara Beni bercampur dengan dentuman irama house music yang menggema di sepanjang rekaman. Untunglah aku masih bisa mendengar suara lantangnya.

"PUSING GUE PAS BALES PESEN. UDAH SAMPE YA, BEB?"

You:
Belom sampe St. Paul sih
Gue juga pusing dari pesawat
Gak karuan
Pengen telfonan tapi gak bisa
Lagi di mobil, ntar ya

Beni kembali mengirim pesan suara, aku mendengar suara pelannya dibalik kegaduhan musik di tempatnya yang berdentum kencang. Mendengar suara Beni sudah cukup membuatku seperti berada di rumah. Hanya sementara menutup kenyataan bahwa aku sedang tak berada di Jakarta. "I wish we can be there for you, baby."

Oh tidak, tidak. Seorang Aulia Wijaya tidak boleh menangis sekarang.

Beni mengirimkanku satu pesan suara lagi. "BTW KIRANA ILANG DONG ASTAGA MANA SIH ITU PEREMPUAN, BENTAR YA BEB GUE CARI DULU. BAHAYA ANJIR KALAU DICULIK MANTANNYA GIMANA DONG. MANA BISA BERANTEM GUE KAN CUPUUUU, HAHAHAHA."

You:
😂
Paling ketemu Sasa apa gimana
Cek toilet, tapi jangan masuk lu belom official cewe

Beni:
AMINONO

You:
'Aminin'? IYA IYA IYA
Udah ah
Lanjut sana lu seneng-seneng
Kabarin gue kalau Kirana ketemu
Bye, Bebenini

Beni membalasku lagi dengan pesan suara, "IYAAAA, BESOK GUE TELFON YA KALAU INGET. EH PASTI INGET DONG KAN LU AULIA WIJAYA. HAHAHAHA BYE SAYANG!"

Apasih, Ben. Sambil menahan tawa dan aku memutuskan untuk mengunci layar ponsel dan meletakkannya di sampingku. Aku memandangi luar jendela, pucuk-pucuk hutan bersama embusan angin menerpa jatuh dedaunan musim gugur. Di luar sudah temaram bercampur dengan warna jingga gelap. Petanda sang malam sudah menjemput.

Malam memang masih awal, di kawasan hutan tetap saja suasananya berbeda dengan malam-malam biasanya. Deru mesin mobil terdengar sangat jelas di keheningan malam itu. Mobil terus melaju melewati pepohonan tinggi yang rapat dari satu pohon ke pohon lain. Beruntung jalan yang dilalui sangatlah mulus.

"Aulia?"

Suara Richard membuyarkan keheninganku. Mataku bertemu dengan sepasang mata monolid dengan warna mata hijaunya dari spion tengah; menunjukkan sorot khawatir.

"Yeah?"

"Baik-baik saja?" tanyanya menggunakan bahasa Indonesia yang bercampur dengan aksen Amerika. Ayah tiriku ini begitu giat belajar apapun tentang Indonesia. Aku mengerti jika berada di posisinya, pastilah sangat sulit untuk mendekatiku dan Tina. Menjadi sosok yang memadukan dua keluarga, menikahi wanita yang sudah memiliki anak, bisa menjadi beban baginya sekarang.

Meskipun tidak ada rumus yang mudah untuk menciptakan sebuah keluarga "sempurna", aku yakin dia mengerti pentingnya untuk menjalani situasi baru ini dengan kesabaran dan pengertian terhadap perasaan kami. Terutama kepadaku. Ini salah satu caranya untuk membuat segalanya lebih mudah selaku beradaptasi dengan peran barunya sebagai kepala keluarga.

Memikirkannya membuat perutku bergolak. Mengingat keadaan harmonis keluarga kecilku beberapa tahun lalu dan seketika semuanya diputar dengan keras sampai waktu berada di masa sekarang; skema keluarga "baru" bersama Richard masih membuatku sulit percaya. Ingatan saat Bunda yang tidak bahagia dan selalu menangis karena Ayah, kemudian Richard yang membantunya keluar dari masa-masa sulitnya dan membuatnya kembali tertawa membawa rasa aneh ini terus mengisi setiap ruang pikiranku.

"Aku baik-baik saja," jawabku dengan bahasa yang sama dan aku sadari selalu terdengar sangat formal setiap aku berbicara dengan Richard.

"Really?" Richard memandangiku dengan sorot mata penasaran. "Kamu terlihat begitu... gloomy."

"Hanya jet lag," jawabku mencoba menarik sudut bibirku untuk mengutas senyum. Mencoba meyakinkan Richard bahwa aku baik-baik saja walaupun aku sadar bahwa: aku tidak.

"Dan lelah sedikit," tambahku dengan cepat.

Jawaban ini cukup menenangkan Richard, terlihat ketika dia mengangguk dari pantulan kaca spion dan memberiku senyum miliknya sebelum kembali fokus pada jalanan.

Sementara Bunda hanya memandangiku, mata cokelatnya yang besar tampak lebih khawatir berkali-kali lipat dibanding Richard. Dia pasti tahu apa yang terjadi padaku tanpa harus diceritakan. Nampak di matanya kasih sayang bercampur cemas dan rasa bersalah. Tapi aku tidak pernah menyalahkannya.

Rambutnya yang hitam berkilau bagaikan mutiara hitam mengurai sampai ke bahu. Kemudian aku lihat dia memberikan senyumnya padaku yang selalu memadamkan gejolak beban yang mengisi tingkat stress yang kualami beberapa hari belakang. Suaranya jernih dan dia kembali meyakinkanku bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Sebentar lagi kita sampai, Lia."

— RAHINA —

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

RAHINA —

Komentar, kritik, saran, dan vote kalian sangat berarti buat aku. Jadi, tolong tinggalkan jejak sekecil apapun itu setelah kalian baca "Dancing With A Stranger" yaa :)

Dancing With A StrangerWhere stories live. Discover now