- PART 01 -

7.1K 475 48
                                    

Rambut sebiru langit itu terombang-ambing diterpa angin, menabrak apapun yang menghalangi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Rambut sebiru langit itu terombang-ambing diterpa angin, menabrak apapun yang menghalangi. Di belakangnya terdengar seruan-seruan kasar dan derap langkah kaki yang mengentak bertumpukan. Tangan-tangan teracung ke depan, menunjuk bocah ingusan yang telah berhasil menggaet beberapa batu mulia dari korbannya.

Kendatipun begitu, Reeve tetap berlari. Tidak peduli dengan lusinan pria dewasa yang mengejar membabi buta. Kedua kaki kecilnya dengan gesit melangkahi setiap sulur-sulur akar yang merambat serta melintang di sepanjang hutan.

Matahari masih berada tepat di puncak, menghamburkan sinarnya ke celah-celah permukaan bumi. Seharusnya tidaklah masalah bagi Reeve untuk tetap masuk lebih dalam ke hutan karena prioritas utamanya saat ini hanyalah kabur dari kejaran para singa jantan yang lapar. Hingga sebuah kaki yang terjulur dari balik pohon berhasil menghentikan pelarian Reeve. Tanpa ia sadari, tubuhnya telah menghantam tanah cukup keras.

Reeve buru-buru bangkit dengan bertumpu pada kedua tangan dan menoleh ke sumber permasalahan. Bulu kuduknya seketika meremang. Napasnya tersekat di pangkal tenggorokan. Seluruh kehidupan tampak tercerabut paksa dari tubuhnya hingga Reeve pucat pasi.

Memang ini terlihat berlebihan, namun Reeve berani bersumpah bahwa dewa kematian tengah memandanginya tajam. Dengan tubuh yang menunduk, menghadang datangnya sinar matahari membuat wajahnya semakin tak terlihat. Jika diperbolehkan memilih, Reeve lebih senang tubuhnya digelandang paksa oleh sekerumunan taring singa jantan daripada bertatap muka langsung dengan dewa kematian bersurai merah di siang bolong.

Derap langkah terdengar semakin jelas dari balik-balik pepohonan. Sumpah serapah menggema di setiap sudut-sudut hutan. Mendengar hal itu, tubuh Reeve digeret paksa tanpa mengacuhkan ranting-ranting pohon yang berusaha melukainya. Reeve terlihat pasrah, walaupun tubuhnya tiba-tiba digiring ke kiri lalu memasuki sebuah lubang yang tertutupi rimbunnya tanaman rambat yang menggantung.

Mungkin bagi sebagian orang yang tidak pernah melihat pemandangan dibaliknya akan menjatuhkan kedua bola mata dan rahangnya ke tanah. Sayangnya itu tidak berlaku bagi Reeve. Sudah puluhan kali ia mendatangi tempat ini. Tempat rahasia hasil temuan gadis di sampingnya yang berambut merah sebahu.

Pohon raksasa tua menjulang tinggi hingga membentuk kanopi lebar, menghalangi sinar matahari hingga hanya menciptakan sulur-sulur kuning lembut. Akar-akar yang juga sama besarnya mencuat dari dalam tanah, hampir menutupi keramik bercorak yang retak. Uniknya, pepohonan raksasa tersebut dilingkupi oleh reruntuhan bangunan megah dengan pahatan bergaya mediterania yang telah dilahap oleh ganasnya tumbuhan.

Reeve melangkah mendahului gadis itu dan mendaratkan tubuhnya di depan akar-akar pohon yang saling menjalin. Ia mengeluarkan apel dari dalam tas selempang kumal, kemudian menggosoknya ke kaus berniat membersihkannya sebelum ia habiskan. Namun niatnya urung kala mendengar dehaman keras di sampingnya.

"Apa alasanmu kali ini?" tanya gadis itu, tanpa sedikitpun melepaskan tatapan tajamnya kepada Reeve.

"Demi janggut Zeus. Berikan aku waktu untuk bernapas, Amaryllis," sungut Reeve seraya menimang apel merah hasil kelicinan tangannya di pasar. "Dan berhentilah menatapku seperti tadi karena aku hampir mengiramu dewa kematian."

To Kill Wild RosesWhere stories live. Discover now