two ° seize the day

Start from the beginning
                                    

"Masih bisa berdiri kan'?"

Suara Changbin menginterupsi.

"Siap. Bisa, kak"

Dengan segera ia kembali berlari menghampiri barisan yang belum menerima jatah minum.

Jisung menatap iba pada Felix. Sungguh ia ingin sekali menjambak rambut Minho. Kalau bukan karena ketua BEM sialan itu, Felix tak akan mendapat hukumannya.

Changbin menyimpan stop watch dalam kantung celananya. Menatap adik tingkatnya yang berjalan dengan langkah terseret.

Barisan calon anggota BEM sudah di bubarkan. Satu persatu mahasiswa keluar dengan tertib. Takut-takut ditegur oleh anggota komisi kedisiplinan yang terus mengawasi.

"Ikut saya, dek"

Suara Changbin membuat beberapa orang yang tersisa di aula menoleh.

Felix menurut.

"Badan eksekutif gak terima anggota yang lambat, dek! Buat apa kamu susah susah masuk BEM? Mau merusak citra organisasi hah?!"

Kepalanya menunduk. Suara itu membuat Felix menggigit bibir bagian dalamnya. Sungguh ia amat benci dibentak.

Dan siapa Seo Changbin berani membentaknya?

"Detensi belum berakhir. Masih ada yang harus kamu lakukan,"

Changbin berjalan menuju pintu keluar aula.

"-kamu boleh pulang sekarang"

Blam

Pintu tertutup.

Tangannya mengepal kuat.

Sepi. Aula kampusnya sudah sepi.

"Brengsek Seo Changbin!"

•••

Sudah berjalan satu minggu,

Hukuman yang Changbin berikan pun lebih bervariasi.

Mengipasi ketua BEM, membersihkan markas komdis, merayu calon anggota yang hendak keluar agar tetap bertahan, hingga memesankan ojek online pada beberapa calon anggota yang tidak membawa kendaraan ke kampus.

Felix menggerutu di sepanjang jalan pulang. Ingin rasanya ia menyakar wajah datar Seo Changbin. Mematahkan tulang rahangnya yang berlebihan itu.

Motor Honda Repsol 250 cc miliknya sudah terparkir di garasi. Badannya terasa pegal, penat juga karena kemacetan kota Jakarta di saat jam pulang kerja seperti sekarang ini.

Kakinya menapak memasuki rumahnya. Sepi. Mungkin Ibunya sedang tidur. Dan Ayahnya jelas saja sudah kembali mendapat tugas kerja.

"Felix," suara Ibunya menyapa pendengarannya.

Wanita cantik itu menyeka air mata. Dahi Felix berkerut.

Dekapan Ibunya membuatnya bingung. Memang Felix beberapa kali melihat Ibunya menangis diam-diam, tapi kali ini berbeda. Kesedihannya jelas nampak.

"Bunda... kenapa?"

Felix membawa Ibunya duduk di sofa abu-abu di ruang keluarga. Tangisnya masih belum reda.

"Kecelakaan pesawat, di Guangzhou"

Ucapan Ibunya masih rancu. Namun firasat buruk tak dapat ditepis.

"Sinyal pesawat dan radarnya keganggu, Bunda gak ngerti kenapa bisa terjadi,"

Felix menajamkan pendengarannya.

"-Ayah meninggal. Pesawat jatuh di Guangzhou"

"Gak mungkin!" Felix menggeleng cepat.

"Ayah udah janji bakal selalu pulang setelah tugasnya selesai. Bunda denger kabar kayak gitu dari mana coba?"

Dadanya sudah bergemuruh. Dalam batinnya sudah berteriak. Tapi pikirannya terus menyangkal.

Felix beranjak. Napasnya tersengal.

"Kalau bener kayak gitu.. pasti jasad Ayah bakal dibawa juga kan ke rumah?" ucap Felix sambil melangkah.

"Engga, Felix. Ayah sama korban lainnya udah dikubur di pemakaman massal,

-di Guangzhou"

Suara wanita itu dikeraskan, agar terdengar oleh anaknya yang kini sudah menaiki tangga menuju kamarnya.

Felix mencengkram erat pegangan tangga. Kemudian memukulnya.

Pintu kamar terbuka sesaat setelah Felix mendorongnya dengan kaki kanannya.

Pandangannya mengabur. Dadanya sesak.

Harus kembali ia lakukan, seperti biasa.

Felix duduk di lantai. Kakinya menekuk, lututnya menempel di dadanya. Tangan kecilnya menggapai korek api di atas nakas.

Napasnya kembali teratur saat api menyala. Jari tangannya membelai api kecil itu.

Felix tersenyum. Rasanya lega.

Rasa hangat mulai terasa di seluruh jari-jarinya. Entah bagaimana hal itu menjadi candu tersendiri bagi Felix.

'Tuk tuk'

Bukan suara pintu kamar. Felix menoleh pada pintu kaca yang mengarah ke balkon. Diketuk dari luar.

Tirainya sudah tertutup. Namun bayangan seseorang di luar dapat Felix lihat dengan jelas.

Kakinya melangkah mendekat. Dalam batinnya bertanya siapa orang yang dengan isengnya memanjat hingga balkon kamarnya di lantai dua.

Walaupun belum terlalu malam, jujur saja Felix takut sekarang.

Srakk

Tirai pun tersibak.

Mata Felix melotot saat mendapati seseorang yang berdiri di balik pintu kaca di depannya.

Orang itu juga sedikit terkejut. Kemudian melambaikan tangannya pada Felix.



•••


Muehehehe 🌝

PURZELBAUM [Changlix]Where stories live. Discover now