one ° we've met

Mulai dari awal
                                    

"Mengatasnamakan ketua BEM angkatan enam belas? Anak tingkat satu punya hak apa?"

Mata Felix menyipit.

"Kamu fakultas apa?" tanya Changbin sambil membuka lembaran kertas yang ia bawa di tangan kirinya.

"Teknik,"

Changbin menghentikan pergerakannya.

"Jurusan?"

"Teknik sipil"

Felix menunduk kala Changbin meletakkan lembaran kertas yang dibawanya ke atas meja kayu.

Helaan napas panjang terdengar dari yang lebih tua.

"Kamu menutup peluang terbesar. Masih yakin mau daftar jadi anggota BEM setelah ini?"

"Siap. Yakin, kak"

Entah kenapa keyakinan Felix justru berkurang.

"Oke, kamu boleh pulang sekarang. Tapi jangan kira kamu bebas detensi. Empat hari dari sekarang, kembali temui saya disini"

Changbin menjauh setelah menyelesaikan kalimatnya.

Sore itu masih ada beberapa mahasiswa yang betah berlalu lalang di area kampus. Beberapa diantaranya teman seperjuangan Felix-calon anggota BEM.

Decakan lidah terdengar dari pemuda itu.

Felix hanya mahasiswa biasa. Sedikit berbeda karena ia penerima beasiswa prestasi. Sulit. Hanya tiga orang di setiap angkatan.

Dari awal tekadnya hanya untuk belajar. Menjaga nilainya agar tidak terjadi pencabutan beasiswa.

"Jisung! Kok masih disini?"

Yang dipanggil menoleh. Lalu tersenyum pada Felix yang baru saja datang.

"Nunggu kakak gue nih,"

"Belum jemput emang?"

Jisung terdiam. Lalu menggeleng.

Felix memandang temannya itu dari samping. Han Jisung namanya. Berada dalam satu kelompok yang sama saat ospek, dan siapa sangka menjadi lebih dekat berkat mendaftar organisasi BEM.

"Lo gak pulang? Keburu malem loh"

Felix mengangguk. Setelahnya benar-benar pergi. Jisung masih berdiri di depan gerbang kampusnya. Hingga sebuah mobil terhenti di depannya.

Jendela mobil itu terbuka.

"Maaf ya kakak lama"

Tangannya terulur untuk mengusak surai milik adiknya.

"Iya tau yang sibuk" ucap Jisung sambil menyingkirkan tangan tadi dari kepalanya.

"Ya udah, ayo pulang,"

Jisung mengangguk. Masuk ke dalam mobil. Diikuti dengan suara mesin mobil yang mulai menjauh setelahnya.

•••


Suara decitan gerbang yang nyaring membuat Felix menggeliat dalam tidurnya. Baru pukul sembilan malam sekarang.

Felix menggoyangkan kakinya di atas ranjang. Membuat sprei yang membalut spring bed tampak kusut.

"Felix udah tidur?" suara berat pria itu menyapu pendengaran Felix.

"Udah kayaknya,"

Pintu kamarnya terbuka. Pria paruh baya itu duduk di pinggir ranjang tempatnya berbaring.

Sekali di setiap minggunya, Ayah Felix pulang dari tugasnya sebagai pilot. Langsung mengunjungi kamar anak semata wayangnya, bahkan sebelum seragam kerjanya ia ganti.

PURZELBAUM [Changlix]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang